
Sejarah mencatat dengan pasti bahwa pada tahun 1343 pasukan Majapihit yang dipimpin Adityawarman berhasil menaklukkan Bali. Hal ini terjadi tentu saja tidak terlepas dari intrik dan tipu muslihat yang dimainkan Gajah Mada untuk menjebak panglima militer Bali asal desa Blahbatuh, Kebo Iwa. Setelah penaklukan itu, rencana cerdas Gajah Mada yang lain segera dijalankan. Rencana itu tak lain adalah dengan menempatkan Sri Kresna Kepakisan sebagai pemimpin di Bali sehingga mampu meredam gejolak pemberontakan dan perlawanan rakyat Bali. Sri Kresna yang berasal dari Kediri itu dipilih karena ia merupakan anak keturunan dari penguasa kerajaan Panjalu. Hal ini juga berarti bahwa ia adalah keturunan Airlangga raja agung Kahuripan. Dan seperti juga yang ditorehkan sejarah, Airlangga adalah anak dari Prabu Udayana, raja Bali dengan Mahendradatta yang merupakan keturunan Empu Sendok dari Jawa Timur.
Tapi benarkah gejolak dan perlawanan Bali yang telah diredam tidak meninggalkan dendam? Ternyata perjalanan sejarah pada abad-abad berikutnya mencatat hal yang berbeda. Dan yang lebih menarik adalah ternyata orang merencanakan membalas dendam tersebut adalah salah satu keturunan Sri Kresna Kepakisan.
Kurang labih ceritanya begini. Segera setelah diangkat menjadi penguasa Bali, Sri Kresna Kepakisan memindahkan pusat kerajaan dari Bedahulu ke Gelgel (Klungkung). Seiring dengan berjalannya waktu, anak keturunan Sri Kresna Kepakisan mulai menyebar dan mendirikan kerajaan – kerajaan satelit yang independent dan tersebar di Bali. Semakin berjalan waktu, maka semakin jauh pula hubungan kekerabatan antar penguasa –penguasa kerjaan tersebut. Dan seperti yang dibuktikan sejarah, peperangan dan pencaplokan wilayah antar kerajaan ini terjadi begitu sering. Sampai dengan tahun 1750-an terdapat dua kerajaan besar yang bersekutu dan menguasai sebagian besar wilayah Bali. Kedua kerajaan itu adalah kerajaan Klungkung yang menguasai sebagian besar daerah Klungkung, Karangasem dan Gianyar serta kerajaan Mengwi yang menguasai wilayah Badung, Tabanan, Buleleng dan Jembrana.
Seperti yang tertera dalam Babad Mengwi, pada saat itu Mengwi dipimpin oleh Agung Alangkajeng. Setelah menguasai Jembrana dan Buleleng, dengan bantuan Dewa Agung raja Bali paling berpengaruh dari Klungkung, dan dibantu oleh sekutu-sekutunya dari kerajaan-kerajaan kecil yang lain, Alangkajeng menyerang Blambangan di ujung timur pulau Jawa. Tentu saja tidak butuh waktu lama untuk menguasai Blambangan, karena beberapa puluh tahun sebelumnya Panji Sakti dari Buleleng juga sudah pernah menguasai wilayah itu.
Yang menarik adalah setelah penyerbuan dan penaklukan terhadap Blambangan, ternyata Alangkajeng tidak langsung pulang ke Mengwi. Tetapi ia kembali mengumbar semanagt berperang prajuritnya. Tujuan kali ini tidak tanggung-tanggung, Majapahit. Ternyata Alangkajeng mempunyai obsesi untuk menyerang dan menguasai kota raja Majapahit yang terletak di Trowulan itu. Saya tidak tahu, apakah saat itu Alangkajeng memiliki informasi bahwa kota raja Majapahit sudah tidak ada lagi dan hanya menyisakan padukuhan kecil dengan sedikit penduduk yang bertani. Ataukah dia sadar betul bahwa saat itu desa Majapahit adalah bagian dari kerajaan Mataram yang sudah terpecah menjadi Kesultanan Ngoyogyakarta dan Kasunanan Surakarta dan yang notabene adalah jajahan Belanda?
Tapi yang jelas, pada saat itu telah terjadi perjalanan panjang belasan ribu tentara gabungan Mengwi dan Klungkung yang dibantu kerajaan-kerajaan sekutunya untuk mencari dan menundukkan tanah Majapahit. Perjalanan itu sekaligus merupakan perjalanan ibadah, karena Alangkajeng yang ditemani Dewa Agung menyempatkan diri mengunjungi Gunung Semeru yang dianggap sebagai salah satu gunung keramat selain Gunung Agung. Di Semeru pula Alangkajeng memperoleh anugerah keris pusaka yang menjadi lambang kekuatan Puri Mengwi.
Ternyata setelah menuruni lereng Semeru, Alangkajeng memutuskan untuk kembali ke Mengwi. Kemungkinan besar karena kerajaan Mengwi terancam diserang oleh kerajaan-kerajaan kecil saingannya. Sampai disana buyarlah angan-angan rakyat Bali untuk menundukkan Majapahit dan membuktikan sumpah Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Atau mungkin pada saat itu memang belum waktunya sumpah mereka terbukti?
Tapi benarkah gejolak dan perlawanan Bali yang telah diredam tidak meninggalkan dendam? Ternyata perjalanan sejarah pada abad-abad berikutnya mencatat hal yang berbeda. Dan yang lebih menarik adalah ternyata orang merencanakan membalas dendam tersebut adalah salah satu keturunan Sri Kresna Kepakisan.
Kurang labih ceritanya begini. Segera setelah diangkat menjadi penguasa Bali, Sri Kresna Kepakisan memindahkan pusat kerajaan dari Bedahulu ke Gelgel (Klungkung). Seiring dengan berjalannya waktu, anak keturunan Sri Kresna Kepakisan mulai menyebar dan mendirikan kerajaan – kerajaan satelit yang independent dan tersebar di Bali. Semakin berjalan waktu, maka semakin jauh pula hubungan kekerabatan antar penguasa –penguasa kerjaan tersebut. Dan seperti yang dibuktikan sejarah, peperangan dan pencaplokan wilayah antar kerajaan ini terjadi begitu sering. Sampai dengan tahun 1750-an terdapat dua kerajaan besar yang bersekutu dan menguasai sebagian besar wilayah Bali. Kedua kerajaan itu adalah kerajaan Klungkung yang menguasai sebagian besar daerah Klungkung, Karangasem dan Gianyar serta kerajaan Mengwi yang menguasai wilayah Badung, Tabanan, Buleleng dan Jembrana.
Seperti yang tertera dalam Babad Mengwi, pada saat itu Mengwi dipimpin oleh Agung Alangkajeng. Setelah menguasai Jembrana dan Buleleng, dengan bantuan Dewa Agung raja Bali paling berpengaruh dari Klungkung, dan dibantu oleh sekutu-sekutunya dari kerajaan-kerajaan kecil yang lain, Alangkajeng menyerang Blambangan di ujung timur pulau Jawa. Tentu saja tidak butuh waktu lama untuk menguasai Blambangan, karena beberapa puluh tahun sebelumnya Panji Sakti dari Buleleng juga sudah pernah menguasai wilayah itu.
Yang menarik adalah setelah penyerbuan dan penaklukan terhadap Blambangan, ternyata Alangkajeng tidak langsung pulang ke Mengwi. Tetapi ia kembali mengumbar semanagt berperang prajuritnya. Tujuan kali ini tidak tanggung-tanggung, Majapahit. Ternyata Alangkajeng mempunyai obsesi untuk menyerang dan menguasai kota raja Majapahit yang terletak di Trowulan itu. Saya tidak tahu, apakah saat itu Alangkajeng memiliki informasi bahwa kota raja Majapahit sudah tidak ada lagi dan hanya menyisakan padukuhan kecil dengan sedikit penduduk yang bertani. Ataukah dia sadar betul bahwa saat itu desa Majapahit adalah bagian dari kerajaan Mataram yang sudah terpecah menjadi Kesultanan Ngoyogyakarta dan Kasunanan Surakarta dan yang notabene adalah jajahan Belanda?
Tapi yang jelas, pada saat itu telah terjadi perjalanan panjang belasan ribu tentara gabungan Mengwi dan Klungkung yang dibantu kerajaan-kerajaan sekutunya untuk mencari dan menundukkan tanah Majapahit. Perjalanan itu sekaligus merupakan perjalanan ibadah, karena Alangkajeng yang ditemani Dewa Agung menyempatkan diri mengunjungi Gunung Semeru yang dianggap sebagai salah satu gunung keramat selain Gunung Agung. Di Semeru pula Alangkajeng memperoleh anugerah keris pusaka yang menjadi lambang kekuatan Puri Mengwi.
Ternyata setelah menuruni lereng Semeru, Alangkajeng memutuskan untuk kembali ke Mengwi. Kemungkinan besar karena kerajaan Mengwi terancam diserang oleh kerajaan-kerajaan kecil saingannya. Sampai disana buyarlah angan-angan rakyat Bali untuk menundukkan Majapahit dan membuktikan sumpah Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Atau mungkin pada saat itu memang belum waktunya sumpah mereka terbukti?