Thursday, April 30, 2009

Sarapan di Pinggir Jalan


Jangan mengira ini adalah ulasan tentang warung-warung lesehan atau gerobak bubur ayam yang tersebar dijalan-jalan kecil yang mengelilingi gedung-gedung perkantoran yang mencakar langit berpolusi Jakarta. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan ulasan Pak Bondan tentang tempat-tempat makan uenak yang katanya mak nyuusss tenan itu.

Pagi tadi saat melintas di Sudirman dari arah Semanggi menuju Thamrin, tepat di halte seberang Gedung Sampoerna saya melihat seorang ayah dengan penuh kasih sayang dan kesabaran sedang menyuapi anaknya yang kira-kira baru berumur satu setengah tahun. Si anak sedang asik bermain di bangku panjang halte sambil mulut kecilnya terus mengunyah makanan yang diberi sang ayah. Kalau melihat dari tempat makanan kotak semacam tupperware merah muda dan sendok kecil yang digunakan, saya kira sarapan si anak adalah bubur ayam. Saya tidak tahu dimana mereka tinggal. Yang jelas pasti dekat-dekat situ. Dan saya yakin sekali mereka bukan anak jalanan, melihat dari pakaian mereka yang bersih dan tidak ada tanda-tanda geronak atau karung besar tepat barang bekas disekitarnya.

Satu hal yang menarik adalah, kasih sayang sang ayah sangat bertolak belakang dengan tempat pengungkapannya. Kalau tidak mau dibilang bahwa sang ayah mungkin sedang mencelekai anaknya. Bagaimana tidak, jalan Sudirman pada pagi hari penuh dipadati kendaraan yang lewat. Mulai dari motor, mobil, metromini, kopaja, bus kota sampay bus transjakarta. Bisa dibayangkan bagaimana kotornya udara dipinggiran jalan itu. Dan kalau mau membayangkan lebih jauh, bagaimana akibat udara kotor ini untuk anak usia satu setengah tahun. Mungkin dampaknya tidak langsung kelihatan. Mungkin sepuluh atau dua puluh tahun lagi baru muncul gejala penyakitnya. Mungkin juga lima puluh tahun lagi. Atau malah tidak muncul penyakit sama sekali alias si anak kecil akan terus hidup sampai sembilan puluh delapan setengah tahun lagi. Menggenapkan umurnya menjadi seratus tahun yang sekarang ini hampir mustahil dijangkau oleh orang kebanyakan.

Sempat juga terpikir, kok bisa ya ada ayah seguoblok itu ngajak anaknya makan pagi dipinggir jalan dengan tingkat polusi yang mencekek leher begitu. Tapi saat mulai menyelami gaya berpikir seorang ayah, ternyata si ayah itu memang bertujuan baik. Dia ingin agar anaknya mau makan dan kalau bisa makannya banyak. Landasan berpikir ini sederhana saja. Umumnya anak-anak agak susah makan. Kalaupun dipaksa, makannya tidak lebih dari tiga suap. Nah, sepertinya si ayah ini menyiasati kondisi itu dengan mengajak anaknya makan ditempat yang si anak suka. Cuman sayangnya tempat itu kebetulan adalah halte.

Nah kalau sudah begitu, berarti permasalahannya bukan lagi soal makan di pinggir jalan. Tapi lebih cenderung pada tidak adanya disiplin dari si ayah. Sang ayah harus mengarahkan anaknya kalau perlu melarang keras anaknya untuk bermain di halte lagi, bukannya malah menuruti kemauan anaknya dengan alas an agar si anak mau makan banyak. Percuma juga si anak makan banyak kalau dua tahun lagi dia jadi terkena kanker karena terlalu sering menghirup udara berpolusi.

Tapi ngemeng-ngemeng, memang sudah hidup di Jakarta. Dan ternyata lebhi susah menjadi ayah yang benar. Dan kalau kebetulan anda seorang ayah yang hidup diJakarta, maka pesan saya cuma satu: Berusahalah………

Wednesday, April 29, 2009

Kartini, Konde dan Konspirasi


Hari Kartini datang lagi. Di beberapa radio ibukota yang sempat saya dengar sewaktu mengendara mobil, hari lahir pahlawan wanita itu diulas begitu heboh. Mulai dari busana tradisional jawa sampai prestasi yang telah dicapai wanita Indonesia saat ini. Wah hebat lah pokoknya, ada yang jadi pilot helicopter tempur, ada juga yang udah jadi kapolda (kalo gak salah denger ya), sampai supir bus.

Tapi, kembali ke busana tradisional, yang ini bikin saya rada miris. Bukan apa-apa, tapi “budaya” yang mengaitkan bahwa hari Kartini sama dengan waktu untuk memakai konde, kebaya dan kemben menurut saya salah besar. Mana mungkin masuk akal jika saat peringatan hari emansipasi tiba-tiba wanita kembali memakai busana tradisional jawa yang notabene mencerminkan kungkungan masyarakat tradisional terhadap tingkah laku perempuan. Pada tahun – tahun yang telah lewat, bahkan anak sekolah diwajibkan untuk mengenakan busana tradisional pada hari Kartini. Apa korelasi hari Kartini terhadap penggunaan busana tradisional? Jelas tidak ada. Bahkan kalau mungkin saat ini Kartini kita Tanya apakah dia suka mengenakan busana tradisional, kemungkinan besar jawabannya tidak. Karena dengan gaya pemikirannya yang katanya maju itu, kemungkinan besar dia akan memilih celana panjang dan blazer hitam seperti yang biasa dipakai prefosional wanita di kantoran.

Kalau kita buat pengamatan lebih jauh lagi, hari Kartini mungkin tidak akan ada bahkan pemikiran Kartini kemungkinan tidak akan pernah diketahui publik apabila
J.H. Abendanon tidak mengumpulkan dan menerbitkan surat-surat Kartini kepada teman-temannya di Eropa sana. Just info, Menir Abendanon ini adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda pada waktu itu. Nah, sudah keliatan kan teori konspirasi dibelakangnya. Kenapa pemerintah Belanda yang adalah penjajah Indonesia sampai mau menerbitkan surat-surat itu dalam satu buku, padahal mereka waktu itu sangat mengekang kemajuan berpikir rakyat jajahannya. Sepertinya Belanda punya agenda tersembunyi untuk hal ini. Tapi sayangnya sejak saya SD sampai SMA tidak pernah sekalipun guru sejarah saya mengajak anak didiknya untuk berpikir kearah sana. Yang penting hafal tanggal dan peristiwanya saja. Itu sudah cukup untuk dapat nilai 8 di raport.

Kembali lagi ke pemikiran Kartini yang diterbitkan menteri Belanda itu, saya sering bertanya dalah hati apa iya pemikiran Kartini murni seperti itu tanpa ditambah-tambahi oleh editornya alias Menir Londo itu. Kalau percetakan sih rasanya tidak mungkin menambahi, karena hal sesuai aturan baku yang ada bahwa isi diluar tanggung jawab percetakan. Kenapa saya berpikir begitu, karena saya melihat dari sejarah juga, bahwa ternyata Kartini menikah atau tepatnya dinikahkan di usia 23 tahun, setelah sebelumnya dia dipingit sejak usia 12 tahun. Kartini selama kurang lebih setahun menjadi istri keempat Bupati Rembang sebelum akhirnya meninggal di usia 25 tahun karena melahirkan anaknya. Nah inilah yang mengganggu saya, bagaimana bisa orang dengan pemikiran maju seperti itu tunduk atau ditundukkan oleh sistem dan norma-norma yang berlaku. Dan sepertinya dia tidak berbuat apa-apa untuk melawannya, selain hanya menulis surat. Apakah tidak ada perlawanan dari Kartini, apakah dia tidak protes dan mengeraskan hatinya untuk mengikuti kemauannya, inilah yang kita tidak pernah tau.

Tapi satu prestasi tetap dia ukir, yaitu pada waktu menjadi istri bupati Rembang dan sebelum wafatnya dia telah mendirikan sebuah sekolah untuk para remaja putrid. Tidak jelas apakah hanya putri bangsawan yang boleh sekolah disana atau rakyat jelata juga diperbolehkan. Yang jelas, sebuah sekolah wanita telah berdiri, sebuah norma tradisional telah runtuh.
Selamat Hari Kartini