
Jangan mengira ini adalah ulasan tentang warung-warung lesehan atau gerobak bubur ayam yang tersebar dijalan-jalan kecil yang mengelilingi gedung-gedung perkantoran yang mencakar langit berpolusi Jakarta. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan ulasan Pak Bondan tentang tempat-tempat makan uenak yang katanya mak nyuusss tenan itu.
Pagi tadi saat melintas di Sudirman dari arah Semanggi menuju Thamrin, tepat di halte seberang Gedung Sampoerna saya melihat seorang ayah dengan penuh kasih sayang dan kesabaran sedang menyuapi anaknya yang kira-kira baru berumur satu setengah tahun. Si anak sedang asik bermain di bangku panjang halte sambil mulut kecilnya terus mengunyah makanan yang diberi sang ayah. Kalau melihat dari tempat makanan kotak semacam tupperware merah muda dan sendok kecil yang digunakan, saya kira sarapan si anak adalah bubur ayam. Saya tidak tahu dimana mereka tinggal. Yang jelas pasti dekat-dekat situ. Dan saya yakin sekali mereka bukan anak jalanan, melihat dari pakaian mereka yang bersih dan tidak ada tanda-tanda geronak atau karung besar tepat barang bekas disekitarnya.
Satu hal yang menarik adalah, kasih sayang sang ayah sangat bertolak belakang dengan tempat pengungkapannya. Kalau tidak mau dibilang bahwa sang ayah mungkin sedang mencelekai anaknya. Bagaimana tidak, jalan Sudirman pada pagi hari penuh dipadati kendaraan yang lewat. Mulai dari motor, mobil, metromini, kopaja, bus kota sampay bus transjakarta. Bisa dibayangkan bagaimana kotornya udara dipinggiran jalan itu. Dan kalau mau membayangkan lebih jauh, bagaimana akibat udara kotor ini untuk anak usia satu setengah tahun. Mungkin dampaknya tidak langsung kelihatan. Mungkin sepuluh atau dua puluh tahun lagi baru muncul gejala penyakitnya. Mungkin juga lima puluh tahun lagi. Atau malah tidak muncul penyakit sama sekali alias si anak kecil akan terus hidup sampai sembilan puluh delapan setengah tahun lagi. Menggenapkan umurnya menjadi seratus tahun yang sekarang ini hampir mustahil dijangkau oleh orang kebanyakan.
Sempat juga terpikir, kok bisa ya ada ayah seguoblok itu ngajak anaknya makan pagi dipinggir jalan dengan tingkat polusi yang mencekek leher begitu. Tapi saat mulai menyelami gaya berpikir seorang ayah, ternyata si ayah itu memang bertujuan baik. Dia ingin agar anaknya mau makan dan kalau bisa makannya banyak. Landasan berpikir ini sederhana saja. Umumnya anak-anak agak susah makan. Kalaupun dipaksa, makannya tidak lebih dari tiga suap. Nah, sepertinya si ayah ini menyiasati kondisi itu dengan mengajak anaknya makan ditempat yang si anak suka. Cuman sayangnya tempat itu kebetulan adalah halte.
Nah kalau sudah begitu, berarti permasalahannya bukan lagi soal makan di pinggir jalan. Tapi lebih cenderung pada tidak adanya disiplin dari si ayah. Sang ayah harus mengarahkan anaknya kalau perlu melarang keras anaknya untuk bermain di halte lagi, bukannya malah menuruti kemauan anaknya dengan alas an agar si anak mau makan banyak. Percuma juga si anak makan banyak kalau dua tahun lagi dia jadi terkena kanker karena terlalu sering menghirup udara berpolusi.
Tapi ngemeng-ngemeng, memang sudah hidup di Jakarta. Dan ternyata lebhi susah menjadi ayah yang benar. Dan kalau kebetulan anda seorang ayah yang hidup diJakarta, maka pesan saya cuma satu: Berusahalah………
Pagi tadi saat melintas di Sudirman dari arah Semanggi menuju Thamrin, tepat di halte seberang Gedung Sampoerna saya melihat seorang ayah dengan penuh kasih sayang dan kesabaran sedang menyuapi anaknya yang kira-kira baru berumur satu setengah tahun. Si anak sedang asik bermain di bangku panjang halte sambil mulut kecilnya terus mengunyah makanan yang diberi sang ayah. Kalau melihat dari tempat makanan kotak semacam tupperware merah muda dan sendok kecil yang digunakan, saya kira sarapan si anak adalah bubur ayam. Saya tidak tahu dimana mereka tinggal. Yang jelas pasti dekat-dekat situ. Dan saya yakin sekali mereka bukan anak jalanan, melihat dari pakaian mereka yang bersih dan tidak ada tanda-tanda geronak atau karung besar tepat barang bekas disekitarnya.
Satu hal yang menarik adalah, kasih sayang sang ayah sangat bertolak belakang dengan tempat pengungkapannya. Kalau tidak mau dibilang bahwa sang ayah mungkin sedang mencelekai anaknya. Bagaimana tidak, jalan Sudirman pada pagi hari penuh dipadati kendaraan yang lewat. Mulai dari motor, mobil, metromini, kopaja, bus kota sampay bus transjakarta. Bisa dibayangkan bagaimana kotornya udara dipinggiran jalan itu. Dan kalau mau membayangkan lebih jauh, bagaimana akibat udara kotor ini untuk anak usia satu setengah tahun. Mungkin dampaknya tidak langsung kelihatan. Mungkin sepuluh atau dua puluh tahun lagi baru muncul gejala penyakitnya. Mungkin juga lima puluh tahun lagi. Atau malah tidak muncul penyakit sama sekali alias si anak kecil akan terus hidup sampai sembilan puluh delapan setengah tahun lagi. Menggenapkan umurnya menjadi seratus tahun yang sekarang ini hampir mustahil dijangkau oleh orang kebanyakan.
Sempat juga terpikir, kok bisa ya ada ayah seguoblok itu ngajak anaknya makan pagi dipinggir jalan dengan tingkat polusi yang mencekek leher begitu. Tapi saat mulai menyelami gaya berpikir seorang ayah, ternyata si ayah itu memang bertujuan baik. Dia ingin agar anaknya mau makan dan kalau bisa makannya banyak. Landasan berpikir ini sederhana saja. Umumnya anak-anak agak susah makan. Kalaupun dipaksa, makannya tidak lebih dari tiga suap. Nah, sepertinya si ayah ini menyiasati kondisi itu dengan mengajak anaknya makan ditempat yang si anak suka. Cuman sayangnya tempat itu kebetulan adalah halte.
Nah kalau sudah begitu, berarti permasalahannya bukan lagi soal makan di pinggir jalan. Tapi lebih cenderung pada tidak adanya disiplin dari si ayah. Sang ayah harus mengarahkan anaknya kalau perlu melarang keras anaknya untuk bermain di halte lagi, bukannya malah menuruti kemauan anaknya dengan alas an agar si anak mau makan banyak. Percuma juga si anak makan banyak kalau dua tahun lagi dia jadi terkena kanker karena terlalu sering menghirup udara berpolusi.
Tapi ngemeng-ngemeng, memang sudah hidup di Jakarta. Dan ternyata lebhi susah menjadi ayah yang benar. Dan kalau kebetulan anda seorang ayah yang hidup diJakarta, maka pesan saya cuma satu: Berusahalah………