Monday, June 1, 2009

Bali (Mencoba) Menyerang Majapahit


Sejarah mencatat dengan pasti bahwa pada tahun 1343 pasukan Majapihit yang dipimpin Adityawarman berhasil menaklukkan Bali. Hal ini terjadi tentu saja tidak terlepas dari intrik dan tipu muslihat yang dimainkan Gajah Mada untuk menjebak panglima militer Bali asal desa Blahbatuh, Kebo Iwa. Setelah penaklukan itu, rencana cerdas Gajah Mada yang lain segera dijalankan. Rencana itu tak lain adalah dengan menempatkan Sri Kresna Kepakisan sebagai pemimpin di Bali sehingga mampu meredam gejolak pemberontakan dan perlawanan rakyat Bali. Sri Kresna yang berasal dari Kediri itu dipilih karena ia merupakan anak keturunan dari penguasa kerajaan Panjalu. Hal ini juga berarti bahwa ia adalah keturunan Airlangga raja agung Kahuripan. Dan seperti juga yang ditorehkan sejarah, Airlangga adalah anak dari Prabu Udayana, raja Bali dengan Mahendradatta yang merupakan keturunan Empu Sendok dari Jawa Timur.

Tapi benarkah gejolak dan perlawanan Bali yang telah diredam tidak meninggalkan dendam? Ternyata perjalanan sejarah pada abad-abad berikutnya mencatat hal yang berbeda. Dan yang lebih menarik adalah ternyata orang merencanakan membalas dendam tersebut adalah salah satu keturunan Sri Kresna Kepakisan.

Kurang labih ceritanya begini. Segera setelah diangkat menjadi penguasa Bali, Sri Kresna Kepakisan memindahkan pusat kerajaan dari Bedahulu ke Gelgel (Klungkung). Seiring dengan berjalannya waktu, anak keturunan Sri Kresna Kepakisan mulai menyebar dan mendirikan kerajaan – kerajaan satelit yang independent dan tersebar di Bali. Semakin berjalan waktu, maka semakin jauh pula hubungan kekerabatan antar penguasa –penguasa kerjaan tersebut. Dan seperti yang dibuktikan sejarah, peperangan dan pencaplokan wilayah antar kerajaan ini terjadi begitu sering. Sampai dengan tahun 1750-an terdapat dua kerajaan besar yang bersekutu dan menguasai sebagian besar wilayah Bali. Kedua kerajaan itu adalah kerajaan Klungkung yang menguasai sebagian besar daerah Klungkung, Karangasem dan Gianyar serta kerajaan Mengwi yang menguasai wilayah Badung, Tabanan, Buleleng dan Jembrana.

Seperti yang tertera dalam Babad Mengwi, pada saat itu Mengwi dipimpin oleh Agung Alangkajeng. Setelah menguasai Jembrana dan Buleleng, dengan bantuan Dewa Agung raja Bali paling berpengaruh dari Klungkung, dan dibantu oleh sekutu-sekutunya dari kerajaan-kerajaan kecil yang lain, Alangkajeng menyerang Blambangan di ujung timur pulau Jawa. Tentu saja tidak butuh waktu lama untuk menguasai Blambangan, karena beberapa puluh tahun sebelumnya Panji Sakti dari Buleleng juga sudah pernah menguasai wilayah itu.

Yang menarik adalah setelah penyerbuan dan penaklukan terhadap Blambangan, ternyata Alangkajeng tidak langsung pulang ke Mengwi. Tetapi ia kembali mengumbar semanagt berperang prajuritnya. Tujuan kali ini tidak tanggung-tanggung, Majapahit. Ternyata Alangkajeng mempunyai obsesi untuk menyerang dan menguasai kota raja Majapahit yang terletak di Trowulan itu. Saya tidak tahu, apakah saat itu Alangkajeng memiliki informasi bahwa kota raja Majapahit sudah tidak ada lagi dan hanya menyisakan padukuhan kecil dengan sedikit penduduk yang bertani. Ataukah dia sadar betul bahwa saat itu desa Majapahit adalah bagian dari kerajaan Mataram yang sudah terpecah menjadi Kesultanan Ngoyogyakarta dan Kasunanan Surakarta dan yang notabene adalah jajahan Belanda?

Tapi yang jelas, pada saat itu telah terjadi perjalanan panjang belasan ribu tentara gabungan Mengwi dan Klungkung yang dibantu kerajaan-kerajaan sekutunya untuk mencari dan menundukkan tanah Majapahit. Perjalanan itu sekaligus merupakan perjalanan ibadah, karena Alangkajeng yang ditemani Dewa Agung menyempatkan diri mengunjungi Gunung Semeru yang dianggap sebagai salah satu gunung keramat selain Gunung Agung. Di Semeru pula Alangkajeng memperoleh anugerah keris pusaka yang menjadi lambang kekuatan Puri Mengwi.

Ternyata setelah menuruni lereng Semeru, Alangkajeng memutuskan untuk kembali ke Mengwi. Kemungkinan besar karena kerajaan Mengwi terancam diserang oleh kerajaan-kerajaan kecil saingannya. Sampai disana buyarlah angan-angan rakyat Bali untuk menundukkan Majapahit dan membuktikan sumpah Sabdo Palon dan Naya Genggong.

Atau mungkin pada saat itu memang belum waktunya sumpah mereka terbukti?

Sunday, May 31, 2009

Boedi Oetomo Tidak Berfaham Kebangsaan


Tanggal 20 Mei adalah Hari Kebangkitan Nasional. Mulai anak SD yang bersekolah di sekolah negeri gratis sampai yang bersekolah di sekolah swasta dengan spp dua juta rupiah sebulan juga tahu hal ini. Tidak cuma yang tinggal di kota-kota saja, bahkan yang tinggal dipedalaman dan masih memakai koteka pun sudah disuruh menghapalkan kapan kita harus memperangati hari kebangkitan nasional itu. Di buku-buku pelajaran sejarah atau PSPB (masih adakah?) mereka, hari kebangkitan nasional ini selalu dikaitkan dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo yang diprakarsai oleh Soetomo dan kawan-kawannya yang notabene adalah mahasiswa STOVIA pada waktu itu.

Tapi pernahkah guru-guru sejarah kita di SD untuk mengajak kita menggali lebih dalam mengenai latar belakang Boedi Oetomo dan bukan sekedar menghafal tanggal dan peristiwa apa yang terjadi? Saya yakin tidak. Seperti juga keyakinan saya bahwa Boedi Oetomo bukanlah sebuah organisasi yang berfaham kebangsaan, apalagi memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dari penjajah Belanda.

Saya sampai pada kesimpulan diatas saat melihat melihat bahwa keanggotaan Boedi Oetomo adalah untuk kaum priyayi atau bangsawan yang berdarah Jawa dan Madura. Sedangkan kita tahu persis bahwa para priyayi tersebut adalah kepanjangan tangan Belanda dalam menancapkan kuku-kuku kekuasaannya di Nusantara. Jadi tidak salah lagi bahwa ayah dari Soetomo dan kawan-kawannya pastilah para pegawai yang sangat taat pada majikan bulenya. Kalau tidak, mana mungkin anak-anak mereka diijinkan bersekolah samapi tingkat setinggi STOVIA. Kondisi yang jelas pada waktu itu adalah pemerintah kolonial selalu membatasi ruang gerak pribumi terhadap akses pengetahun dan informasi. Sekolah-sekolah, baik itu HIS, MULO ataupun yang lebih tinggi, dibuat untuk mendidik pribumi agar dapat dipekerjakan dalam bidang administrasi. Intinya untuk memenuhi kebutuhan pemerintah Belanda akan juru tulis. Jadi yang bisa bersekolah hanya mereka yang disetujui oleh Belanda. Karena itu yang mendapatkan kesempatan pasti adalah anak-anak priyayi yang memiliki hubungan dekat dengan orang-orang Belanda.

Meskipun anak-anbak priyayi itu dapat bersekolah di sekolah Belanda, namun tidak dengan serta merta mereka memiliki persamaan hak seperti umumnya teman-teman mereka yang asli Belanda. Golongan masyarakat pada waktu itu dibagi menjadi empat: Belanda Totok, Indo (campuran Belanda – Jawa), Jawa Priyayi dan Jawa bukan priyayi. Plus Cina --yang memiliki hak dan kewajiban berbeda dengan orang Belanda, Indo dan Jawa. Kalau melihat dari penggolongan itu, bisa dibayangkan bahwa priyayi-priyayi muda yang bersekolah di STOVIA pasti mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari mahasiswa Belanda, baik yang Totok ataupun Indo. Dari sanalah kemudian muncul pemikiran untuk memiliki perkumpulan yang bisa menguatkan orang-orang Jawa dan Madura ini.

Kebetulan pada saat itu pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan dimana pribumi diperbolehkan membentuk organisasi berbadan hukum. Dan organisasi berbadan hukum pribumi tersebut akan diakui setara dengan pribadi seorang Belanda. Tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para priyayi muda yang ingin mendapatkan penghormatan seperti layaknya orang Belanda.

Setelah Boedi Oetomo terbentuk, ternyata tidak ada satupun aktivitasnya yang mengarah kepada politik, jangankan berusaha mencapai kemerdekaan bangsa, diskusi mengenai kemiskinan penduduk Jawa saja tidak pernah dilakukan. Ini terbukti dari tidak adanya catatan sejarah mengenai isi pikiran para pendiri Boedi Oetomo, baik dalam bentuk tulisan di media pada waktu itu ataupun gagasan dalam diskusi-diskusi para tokoh pergerakan.

Lebih jauh lagi, kita tidak pernah tahu dengan pasti kapan organisasi itu bubar dan apa penyebabnya. Logika saya mengatakan bahwa setelah para priyayi itu lulus, mereka terlalu sibuk untuk membaktikan dirinya bagi pemerintah kolonial. Tentu saja Soetomo kemudian menjadi seorang dokter. Kemungkinan ditempatkan didaerah terpencil. Mungkin juga berpacaran dengan seorang perawat Indo. Tapi yang jelas, seorang pendiri organisasi yang katanya berfaham kebangsaan, menghilang begitu saja. Dia seolah berperan dalam mendirikan Boedi Oetomo saja, setelah itu hilang entah kemana. Menurut saya ini tidak konsisten. Karena kalau memang dia bercita-cita untuk menuntut persamaan dengan orang Belanda apalagi memerdekaan bangsanya, maka dia pasti akan terus berjuang sampai apa yang dia cita-citakan tercapai atau kalau tidak sampai dia mati.