Sunday, May 31, 2009

Boedi Oetomo Tidak Berfaham Kebangsaan


Tanggal 20 Mei adalah Hari Kebangkitan Nasional. Mulai anak SD yang bersekolah di sekolah negeri gratis sampai yang bersekolah di sekolah swasta dengan spp dua juta rupiah sebulan juga tahu hal ini. Tidak cuma yang tinggal di kota-kota saja, bahkan yang tinggal dipedalaman dan masih memakai koteka pun sudah disuruh menghapalkan kapan kita harus memperangati hari kebangkitan nasional itu. Di buku-buku pelajaran sejarah atau PSPB (masih adakah?) mereka, hari kebangkitan nasional ini selalu dikaitkan dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo yang diprakarsai oleh Soetomo dan kawan-kawannya yang notabene adalah mahasiswa STOVIA pada waktu itu.

Tapi pernahkah guru-guru sejarah kita di SD untuk mengajak kita menggali lebih dalam mengenai latar belakang Boedi Oetomo dan bukan sekedar menghafal tanggal dan peristiwa apa yang terjadi? Saya yakin tidak. Seperti juga keyakinan saya bahwa Boedi Oetomo bukanlah sebuah organisasi yang berfaham kebangsaan, apalagi memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dari penjajah Belanda.

Saya sampai pada kesimpulan diatas saat melihat melihat bahwa keanggotaan Boedi Oetomo adalah untuk kaum priyayi atau bangsawan yang berdarah Jawa dan Madura. Sedangkan kita tahu persis bahwa para priyayi tersebut adalah kepanjangan tangan Belanda dalam menancapkan kuku-kuku kekuasaannya di Nusantara. Jadi tidak salah lagi bahwa ayah dari Soetomo dan kawan-kawannya pastilah para pegawai yang sangat taat pada majikan bulenya. Kalau tidak, mana mungkin anak-anak mereka diijinkan bersekolah samapi tingkat setinggi STOVIA. Kondisi yang jelas pada waktu itu adalah pemerintah kolonial selalu membatasi ruang gerak pribumi terhadap akses pengetahun dan informasi. Sekolah-sekolah, baik itu HIS, MULO ataupun yang lebih tinggi, dibuat untuk mendidik pribumi agar dapat dipekerjakan dalam bidang administrasi. Intinya untuk memenuhi kebutuhan pemerintah Belanda akan juru tulis. Jadi yang bisa bersekolah hanya mereka yang disetujui oleh Belanda. Karena itu yang mendapatkan kesempatan pasti adalah anak-anak priyayi yang memiliki hubungan dekat dengan orang-orang Belanda.

Meskipun anak-anbak priyayi itu dapat bersekolah di sekolah Belanda, namun tidak dengan serta merta mereka memiliki persamaan hak seperti umumnya teman-teman mereka yang asli Belanda. Golongan masyarakat pada waktu itu dibagi menjadi empat: Belanda Totok, Indo (campuran Belanda – Jawa), Jawa Priyayi dan Jawa bukan priyayi. Plus Cina --yang memiliki hak dan kewajiban berbeda dengan orang Belanda, Indo dan Jawa. Kalau melihat dari penggolongan itu, bisa dibayangkan bahwa priyayi-priyayi muda yang bersekolah di STOVIA pasti mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari mahasiswa Belanda, baik yang Totok ataupun Indo. Dari sanalah kemudian muncul pemikiran untuk memiliki perkumpulan yang bisa menguatkan orang-orang Jawa dan Madura ini.

Kebetulan pada saat itu pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan dimana pribumi diperbolehkan membentuk organisasi berbadan hukum. Dan organisasi berbadan hukum pribumi tersebut akan diakui setara dengan pribadi seorang Belanda. Tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para priyayi muda yang ingin mendapatkan penghormatan seperti layaknya orang Belanda.

Setelah Boedi Oetomo terbentuk, ternyata tidak ada satupun aktivitasnya yang mengarah kepada politik, jangankan berusaha mencapai kemerdekaan bangsa, diskusi mengenai kemiskinan penduduk Jawa saja tidak pernah dilakukan. Ini terbukti dari tidak adanya catatan sejarah mengenai isi pikiran para pendiri Boedi Oetomo, baik dalam bentuk tulisan di media pada waktu itu ataupun gagasan dalam diskusi-diskusi para tokoh pergerakan.

Lebih jauh lagi, kita tidak pernah tahu dengan pasti kapan organisasi itu bubar dan apa penyebabnya. Logika saya mengatakan bahwa setelah para priyayi itu lulus, mereka terlalu sibuk untuk membaktikan dirinya bagi pemerintah kolonial. Tentu saja Soetomo kemudian menjadi seorang dokter. Kemungkinan ditempatkan didaerah terpencil. Mungkin juga berpacaran dengan seorang perawat Indo. Tapi yang jelas, seorang pendiri organisasi yang katanya berfaham kebangsaan, menghilang begitu saja. Dia seolah berperan dalam mendirikan Boedi Oetomo saja, setelah itu hilang entah kemana. Menurut saya ini tidak konsisten. Karena kalau memang dia bercita-cita untuk menuntut persamaan dengan orang Belanda apalagi memerdekaan bangsanya, maka dia pasti akan terus berjuang sampai apa yang dia cita-citakan tercapai atau kalau tidak sampai dia mati.

No comments:

Post a Comment