Thursday, May 21, 2009

Lalat Merah Vs TNI


Saya masih ingat tokoh utama dalam novel kedua ES Ito yang berjudul Rahasia Meede, meskipun novel itu saya baca sekitaran dua tahun yang lalu. Julukannya “Lalat Merah”. Sayangnya nama aslinya saya lupa. Dia seorang tentara Indonesia dari kesatuan pasukan khusus. Tugasnya semacam intelegent yang melakukan penyamaran untuk mendapatkan informasi mengenai orang-orang yang ingin melakukan makar terhadap republik ini. Dia digambarkan sebagai orang yang cerdas dan berinsting tajam. Tentu saja dia lulusan AKABRI --entah angkatan tahun berapa--, setelah sebelumnya menamatkan pendidikan tinggi di SMA Taruna Nusantara.

Agak aneh juga rasanya membaca sebuah kisah tentang hebatnya seorang tentara Indonesia. Apalagi ditengah berbagai masalah yang menimpa TNI. Mulai dari minimnya anggaran, baku tembak dengan sesama teman, penyanderaan atasan sampai jatuhnya beberapa pesawat Hercules karena tidak layak terbang. Belum lagi saat saya suatu kali berpapasan dengan seorang tentara di jalan raya. Kesannya kok jauh dari tentara yang digambarkan di novel. Dia mengendarai motor pretelan alias beberapa bagiannya tidak ada, entah terlepas entah dengan sengaja dilepas. Tidak cuma kaca spion, tapi juga penutup samping kiri kanan dan sayap belakang. Sudah gitu, seruduk seruduk sini seenaknya, dan langsung disambung dengan melanggar lampu lalulitas. Tapi oleh polisi yang sedang jaga hal ini dibiarkan saja. Mungkin awalnya si polisi mau memberikan tilang, tapi setelah melihat celana loreng dan sepatu pdl tinggi, walhasil nyali si polisi ciut juga. Dari pada cari masalah, mending biarin aja, toh masih banyak masyarakat biasa yang akan melakukan pelanggaran dan bisa ditakut-takuti dengan tilang, mungkin begitu pikirnya.

Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden bulan Juli nanti, kita tahu ada tiga orang tentara yang bersaing. Satu orang mencalonkan diri sebagai presiden (lagi) yaitu SBY, sedangkan dua orang yang lain, Prabowo dan Wiranto, sama-sama mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Setelah membaca riwayat mereka di detik.com, berulah saya mulai mempercayai bahwa ternyata banyak tentara republik ini memang cerdas dan punya kemampuan-kemampuan yang tidak kalah dengan anggota pasukan-pasukan elit dunia, seperti Navy Seal dan Ranger-nya AS atau Commandos-nya Portugal.

Coba kita lihat SBY. Dia pernah belajar di Fort Benning, AS, tempat pendadaran para Ranger. Juga pernah training Fort Bragg, pada 82nd Airborne Division. Belum lagi pendidikan jungle warfare di Panama, serta kursus senjata di Belgia dan Jerman. Memang sih, semuanya masih dalam konteks training, tapi paling tidak kita tahu bahwa tentara kita dibekali dengan keahlian-keahlian militer tingkat dunia. Dan memang benar, pada akhirnya SBY menjadi presiden sehingga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana ilmu militer yang telah dia dapatkan, apakah masih bisa dimanfaatkan oleh TNI ataukah hilang begitu saja. Mudah-mudahan saja dia sudah membaginya kepada anak buahnya.

Kalau melihat contoh SBY, seharusnya saya bisa yakin bahwa kemampuan individu tentara kita bisa diandalkan. Tapi kalau melihat kondisi peralatan pendukung militer, rasanya sedih juga. Kapal perang kebanyakan buatan tahun 1960-an, meskipun katanya mesinnya sudah pada diganti dengan turbo. Pantas saja, angkatan laut Malaysia berani mengejek dan menantang kapal perang kita adu cepat di perairan sekitar Simpadan dan Ligitan kemarin. Bagaimana dengan pesawat tempur, bah, yang ini lebih parah lagi. Musuh tidak perlu repot-repot mengejar apalagi menembak pesawat temput Indonesia, buang-buang tenaga katanya. Cukup tunggu 15 menit, pesawat itu pasti jatuh sendiri, hehehehe. Belum lagi tidak adanya keunggulan teknologi yang mendukung. Mungkinkah tentara kita punya satelit mata-mata di luar angkasa sana yang khusus digunakan untuk memantau musuh? Atau mungkin tidak punya, dengan alasan Indonesia negara cinta damai. Jadi tidak mungkin punya musuh?

Tapi sekali lagi, saya sangat yakin dengan kemampuan individu tentara kita. Mungkin belum sehebat Rambo yang bisa membasmi satu kompi Vietkong dengan mudahnya, atau sejago James Bond yang selalu melakukan aksi dengan bantuan Aston Martin, Sony Ericson, dan seabrek alat-alat canggih yang lain. Tapi novel itu sendiri sudah mewakilinya. Karena saya percaya novel itu dibuat dengan riset mendalam dan tidak semata-mata hasil imaginasi penulisnya.

Tuesday, May 19, 2009

With or Without You


Pernah dengar lagunya U2 yang berjudul “With or Without You”?. Saya yakin, sebagian besar orang, terutama yang tumbuh pada generasi delapan puluhan dan sembilan puluhan, pasti tahu lagu terpopuler U2 yang diambil dari album The Joshua Tree itu, bahkan mungkin hafal liriknya. Nah, ngomong-ngomong soal liriknya, mungkin semua orang yakin bahwa lagu itu bercerita tentang seorang wanita. Coba perhatikan sebagian kata-katanya…And you give yourself away…..I can’t live…With or without you. Yakin lagu ini bercerita tentang wanita?. Orang sah-sah saja mau manafsirkannya seenak perut sendiri. Tapi Bono sang pentolan U2 pada suatu kesempatan mengatakan bahwa lagu ini bercerita tentang Tuhan. Nah, loh…

Saya setuju dengan Bono. Tapi menurut saya, harus ada sedikit perubahan pada liriknya agar lebih pas. Bagian yang diubah adalah…..”I can’t live”…menjadi…“I can live”. Nah, kalau liriknya dibuat begitu, jadi lebih pas kan? Hehehehehe…

Kalau direnungkan, sepertinya lebih mudah untuk menganggap Tuhan itu tidak ada dibandingkan ada. Apalagi sampai menganggap Dia ikut campur dalam kehidupan manusia. Sepertinya sangat tidak masuk akal. Dengan cara bagaimana mahluk yang namanya Tuhan itu bisa mengatur hidup manusia, bahkan alam semesta dengan segala isinya. Mengatur perputaran planet-planet. Menyuruh matahari terbit dan terbenam. Atau yang lebih detail lagi, menentukan dengan perempuan yang mana seorang laki-laki harus menjalani sisa hidupnya.

Saya yakin saat ini dibelahan bumi bagian barat sana, sebagian besar orang terutama usia belasan sampai lima puluhan, sudah tidak percaya lagi dengan adanya Tuhan. Statistik membuktikan, bahwa saat ini orang yang pergi ke tempat ibadah di benua Eropa dan Amerika rata-rata adalah anak-anak dan kakek-nenek. Mungkinkah yang tidak datang ke tempat ibadah tidak percaya keberadaan Tuhan, ataukah dia yakin Tuhan itu ada tapi tidak mau mengikuti ajaran salah satu agama dalam memuja-Nya?

Dengar-dengar, seringkali keyakinan mengenai keberadaan Tuhan muncul setelah adanya sebuah keajaiban atau mukjisat atau apalah namanya. Betulkah? Ataukah keajaiban itu hanya kebetulan belaka seperti umumnya kejadian-kejadian acak di dunia ini. Seperti juga sebuah kejadian acak dimana ada meteor yang jatuh ke bumi dengan ribuan batu pecahannya --yang karena bergesekan dengan atmosfir, menjadi panas dan mengeluarkan api-- kebetulan jatuh di kota Sodom dan Gomora?

Kalau kita mengajukan hipotesis bahwa Tuhan itu ada, kira-kira saat ini Dia sedang ngapain yah? Atau jangan-jangan Dia sedang duduk di bangku taman Suropati sambil membaca Pos Kota semata-mata untuk memastikan bahwa orang-orang yang telah dipilihnya benar-benar sudah mati terbunuh semalam. Atau mungkin seperti lagunya Joan Osbourne, bahwa Tuhan ternyata adalah seperti manusia pada umumnya, selalu naik bus kota saat pulang ke rumahnya dari tempat kerja. Atau bisa saja seperti yang diyakini sebagian besar orang, bahwa Tuhan sedang duduk di atas singgasananya di sorga. Entah dimana sorga itu berada. Bisa saya bayangkan Tuhan sedang duduk dengan dahi berkerut karena berpikir keras. Tangan kanannya pastilah menopang dagu perseginya. Sementara jari-jari tangan kirinya mengetuk-ngetuk lengan empuk singgasananya. Apa yang Dia pikirkan? Saya tebak dia sedang menyusun strategi untuk mencegah Iblis melakukan aksi berikutnya. Hehehehehe.

Pernah saya tanyakan hal-hal mengenai keberadaan-Nya ini kepada orang-orang tua di kampung, jawaban yang saya dapat adalah: “jalani saja hidup kau, tidak usah banyak tanya, suatu saat kau akan mengerti sendiri”. Busyet dah.

Monday, May 18, 2009

Timur Mangkuto, Agusta Bram dan Polisi Indonesia


Semula ada yang aneh rasanya saat membaca novel thriller dengan lakon seorang polisi Indonesia. Bagaimana tidak, polisi di republik ini, dengan pangkat inspektur dari reserse kriminal atau narkoba di lingkungan Polda Metro, berlaga ala James Bond. Ia memecahkan kasus pembunuhan yang rumit dengan memakai logika konspirasi dan pencarian informasi yang menegangkan. Awalnya otak waras saya menolak mentah-mentah ide ini. Katakanlah ini sebuah ide, karena tokoh polisi ini hanya ada dalam novel.

Setahu saya, sekali lagi “setahu saya”, adalah novel Negara Kelima karya ES Ito yang pertama kali mengangkat seorang tokoh polisi dalam negeri sebagai lakon jagoan. Namanya polisi itu Timur Mangkuto. Kalau tidak salah ia dari reserse kriminal bagian pembunuhan atau istilah LAPD-nya homicide. Ia polisi yang berdedikasi, jujur, bersih tanpa pernah korupsi. Tampangnya keren, badannya tinggi tegap atletis, otaknya encer dan pembawaannya selalu tenang. Dan seperti biasanya penegak hukum yang jujur, ia dikagumi kawan dan ditakuti lawan, hasilnya ia pun dijebak dan dianggap sebagai pembunuh. Jangan salah, yang dimaksud kawan dan lawan disini adalah polisi juga.

Lain lagi dengan novel Metropolis yang ditulis oleh Windry Ramadhina. Ia menggunakan Agusta Bram sebagai tokoh utama. Bram –begitu panggilannya- adalah seorang inspektur polisi dari reserse Narkoba di Polda Metro. Berotak cemerlang dengan tampang lumayan. Berdedikasi tinggi sampai-sampai menyita kehidupan pribadinya. Dia terkenal sebagai polisi yang sering melanggar prosedur dalam menyelesaikan sebuah kasus, tapi instingnya selalu tepat. Dan yang paling hebat adalah dia polisi yang bersih, karena tetap mampu menjaga jarak dengan para gembong pengedar obat-obatan di Jakarta. Bram hanya mau melepaskan buruannya apabila buruannya memberi informasi mengenai buruan yang lebih besar lagi.

Begitulah seorang polisi di kedua novel tadi. Coba sekarang lihat ke realita yang ada. Saya pikir citra polisi sudah hamcur lebur bak papan gypsum terendam air. Slogan “polisi cinta damai” sangat melekat di kalangan pengemudi ibu kota. Coba saja kalau anda melanggar lalu lintas, terus si stop polisi. Anda cukup bilang “damai Pak”, maka semua beres. Tarif damai cuma lima puluh ribu untuk mobil pribadi dan dua puluh ribu untuk taksi. Tapi tetap saja kita akan merasa kesal. Ya jelas saja kesal, soalnya kita sering kali merasa dijebak oleh polisi lalu lintas. Mereka bukannya mengatur lalu lintas agar tertib, malah sengaja menunggu kita melakukan kesalahan agar bisa memberi tilang. Kondisi ini diperparah lagi dengan kacau rambu-rambu di jalan yang katanya merupakan tanggung jawab Dinas Perhubungan.

Polisi di polsek juga tidak jauh berbeda. Pernah suatu kali karena salah pengertian maka terjadi pemukulan di kompleks. Yang dipukul tidak terima dan mengadu ke Polsek. Akibatnya si pemukul langsung dibawa. Meskipun akhirnya perkara diselesaikan secara kekeluargaan, tapi si pemukul tidak juga boleh keluar dari polsek. Ternyata usut punya usut, itu orang harus di tebus sekian juta. Plus salam tempel sani-sini kepada polisi-polisi yang lagi piket. Walah. Kalau polsek aja begitu, bisa dibayangkan pejabat-pejabat polisi mulai dari polres, polda sampai mabes. Apalagi perkara yang ditangani adalah perkara-perkara yang melibatkan pengusaha dan pejabat kaya raya, kira-kira berapa rupiah ya dana bebas pajak yang dialokasikan untuk kantong polisi.

Seorang trainer yang juga auditor BPKP pernah bercerita begini. Ada seorang pejabat yang berhasil menggelapkan uang negara sekitaran sembilan milyar. Kemudian saat ditangkap, diperiksa sampai proses pengadilan, dia membagi-bagikan uangnya kepada petugas yang terkait, mulai dari polisi, pengacara, jaksa sampai hakim. Apa yang terjadi kemudian?, dia bebas dengan satu setengah milyar masih tersisa dikantongnya. Huahahahaha. Benar-benar sebuah komedi tapi miris menyedihkan. Kata seorang teman, sebuah kawasan di selatan Jakarta banyak dihuni oleh polisi. Menurut dia rumah-rumah itu besar dengan luas tanah minimal tiga ratus meter. Garasi untuk menampung dua mobil katanya sudah standar. Mobil ketiga atau keempat akan meluber didepan garasi. Biasanya satu atau dua dari mobil-mobil itu adalah buatan Eropa. Saat saya tebak bahwa pangkat polisi-polisi itu pasti tinggi, teman itu malah tertawa, terus dia bilang yang tinggal disitu kebanyakan hanya polisi pangkat rendahan.

Jadi kalau sudah begini, akuratkah observasi yang dilakukan ES Ito dan Windry saat mereka mengangkat seorang polisi sebagai tokoh utama novelnya? Saya percaya bahwa satu dua orang polisi jujur dan berdedikasi pasti masih ada diantara sekian ribu yang korup. Harapan saya, mudah-mudahan dengan diangkatnya polisi sebagai tokoh utama novel, maka polisi-polisi yang ada saat ini akan beradaptasi dan menyesuaikan dengan citra baru ini. Dengan begitu, semoga tidak lama lagi akan ada banyak polisi ala “Sersan Hunter” di negeri ini.

Sunday, May 17, 2009

Angels & Demons dan Bangunan Tua


Jumat minggu lalu, Angels & Demons mulai diputar di hampir seluruh bioskop di ibu kota. Penontonnya membludak. Bersyukur saya termasuk yang beruntung mendapatkan tiket dengan tempat duduk yang agak lumayan nyaman, alias tidak terlalu di depan.

Film yang diangkat dari novel ketiga Dan Brown ini, memang dibuat setelah melihat kesuksesan film Da Vinci Code. Da Vinci Code sendiri merupakan novel keempatnya. Terbitnya novel ini juga persis filmnya, alias dicetak ulang setelah novel Da Vinci Code meledak di pasaran. Sang tokoh utama dalam kedua novel dan film tersebut memang sama, yakni Robert Langdon seorang pakar simbologi dari Harvard yang diperankan oleh Tom Hanks.

Banyak orang yang merasakan kekecewaan saat menonton sebuah film yang diangkat dari novel yang kebetulan sudah dibacanya. Tapi menurut saya, untuk Angels & Demons, justru film dan novelnya tidak bisa dibandingkan. Justru sebaliknya, mereka saling melengkapi. Saya masih ingat beberapa tahun yang lalu saat saya membaca novelnya, banyak hal yang harus saya cari di Google untuk membentuk pengertian saya mengenai hal –hal yang digambarkan didalamnya. Seperti misalnya tokoh – tokoh ilmuwan atau seniman sejaman Galileo, gereja kuno, lambang paganisme, iluminati, termasuk semua hal mengenai Vatikan. Nah, pada saat nonton filmnya, semuanya tergambarkan dengan jelas. Mungkin saja hal itu menjadi jelas karena saya sudah membaca novelnya dan mencari info-info yang terkait.

Jadi, sebenarnya konspirasi iluminati di film tidak membuat saya kaget. Justru yang membuat terkejut adalah betapa hampir semua bangunan dan patung yang dibuat pada sekitar abad ke-16 dan 17 yang tersebar di kota Roma, masih ada dan terawat sampai saat ini. Kalau anda menonton film-nya, cobalah perhatikan bagaimana utuhnya patung porselin “Habakkuk and The Angel” dan “pyramid tomb” yang dibuat oleh pematung baroque Giovanni Lorenzo Bernini yang terdapat di The Chigi Chapel di gereja Santa Maria Del Popolo. Gereja beserta kedua patung itu dibuat pada sekitaran tahun 1500-an. Lihat juga patung karya Bernini yang lain, “The Ecstacy of St. Teresa” yang terdapat di Cornaro Chapel di gereja Santa Maria della Vittoria. Sekaligus juga lihat bagaimana ornamen-ornamen bernuansa baroque yang terdapat di gereja tersebut masih sangat terawat sehingga keindahannya masih dapat kita nikmati. Belum lagi sekian banyak obelisk yang tersebar di kota roma, termasuk yang terdapat di Saint Peter’s Square. Padahal obelisk itu adalah peninggalan paganisme sebelum jaman Kristen, alias sudah berumur lebih dari dua ribu tahun.

Coba kita bandingkan dengan peninggalan karya seni ataupun bangunan tua yang ada di republik ini. Saya kira tidak ada satupun yang utuh. Bangunan-bangunan peninggalan Belanda di kawasan kota, hanya hitungan jari yang utuh. Itupun yang sudah beralih fungsi menjadi museum. Sementara yang lain hancur berantakan menyisakan kekumuhan. Mungkin pemerintah tidak melihat nilai tambah yang diberikan oleh bangunan-bangunan itu. Mungkin juga masyarakat kita yang memang tidak pernah menghargai sejarah. Salah satu bukti adalah dirobohkannya Hotel Harmoni demi kelancaran lalu lintas ibukota. Padahal hotel itu adalah lambang kemajuan peradaban Batavia sekitaran awal abad ke-20. Belum lagi bukti yang lain, berupa banyaknya bangunan tua yang dirobohkan hanya karena ingin mengambil batu batanya untuk dipakai membuat bangunan di tempat lain.

Indonesia boleh bangga karena memiliki Borobudur, Prambanan dan banyak candi lain yang tersebar diberbagai daerah, terutama Jawa. Tapi mari kita cermati lagi. Borobudur saat pertama kali ditemukan sudah hampir menyerupai bukit. Artinya badan candi penuh tertimbun tanah dan tumbuhan. Prambanan tidak jauh berbeda. Hanya berupa serakan patu bata dan batu pualam yang tidak berbentuk.
Yang parah, kalau kita lihat candi-candi di Jawa Timur, meskipun terlihat agak utuh, tapi sebenarnya tidak dirawat, bahkan cenderung “dimatikan”. Ini terlihat jelas dari adanya kuburan di samping candi. Kuburan dalam arti yang sebenarnya. Jadi rupanya masyarakat sekitar menganggap kompleks candi sama seperti kompleks pemakaman. Apakah ini disengaja atau tidak saya juga tidak tahu. Cuman kalau disebelah candi ada kuburan, pertanyaannya kemudian siapa yang akan datang untuk sekedar melihat-lihat ke candi itu? Apalagi akan tergerak untuk merawatnya. Tentu saja tidak ada. Anak kecil akan ketakutan begitu melihat candi, karena dalam otaknya dia menyamakan itu dengan kuburan. Apakah memang ada pihak-pihak yang berkepentingan untuk menghancurkan bagian kejayaan masa lalu itu?