Thursday, May 28, 2009

Gajah Mada, Orang Jawa atau Cina?


Membaca sepak terjang Gajah Mada dalam pentalogi Gajahmada tulisan Langit Kreshna Hariadi benar-benar membuat kita salut pada tokoh yang satu ini. Seorang prjurit yang menyerahkan jiwa raga untuk kebesaran negara yang dicintainya. Meniti karir dari tingkatan paling rendah yaitu prajurit, sampai mencapai puncaknya yaitu menjadi seorang patih mahamantrimukya yang memimpin jalannya pemerintahan. Jelas sekali bagaimana Gajah Mada lebih berperan dibandingkan tiga raja yang berkuasa pada jamannya, Jayanegera, Tribhuana Tunggadewi sampai Hayam Wuruk.

Tapi siapa sebenarnya Gajah Mada, tidak terungkap sama sekali. Ada spekulasi yang mengatakan bahwa Gajah Mada adalah orang Sumatera, karena kata "gajah" tidak dikenal di Jawa. Tentu saja gajah bukan hewan asli tanah Jawa, tapi diimport dari Sumatera bagian selatan. Jadi ada benarnya juga. Spekulasi lain mengatakan bahwa Gajah Mada berasal dari Dompu, Nusa Tenggara Barat. Ada juga yang percaya bahwa Gajah Mada adalah orang Dayak dari Kalimantan Barat. Tapi yang lebih banyak dipercaya tentu saja teori yang mengatakan bahwa Gajah Mada adalah orang Jawa asli. Namun tidak ada rujukan yang berarti untuk mendukung teori ini. Dan saya termasuk yang menentangnya.

Mari kita cermati lagi. Sejarah mencatat bahwa Gajah Mada berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Tetapi hal ini tidak serta merta membuktikan bahwa dia orang Jawa asli. Teorinya kurang lebih seperti ini. Seperti yang juga dicatat oleh sejarah, Pasukan Mongol yang diutus Kubilai Khan untuk datang ke Jawa dalam rangka menghukum Kertanegara berhasil dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk menghancurkan Jayakatwang. Selanjutnya Raden Wijaya berbalik menghancurkan pasukan Mongol tersebut sehingga mereka kembali ke negaranya. Namun ternyata ada sebagian dari pasukan tersebut yang tidak pulang ke Cina dan tetap tinggal di Ponorogo. Entah karena takut dihukum kaisarnya atau karena menganggap tanah Jawa lebih memberi harapan dibanding Cina.

Menurut saya, salah satu dari sisa-sisa pasukan Mongol itulah yang merupakan ayah Gajah Mada. Kemungkinan besar ia menikahi seorang perempuan jawa asli sehingga terjadi perpaduan silang darah Cina dan Jawa dalam tubuh Gajah Mada. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri fisik yang dimilikinya. Tinggi badannya lebih pendek dari tinggi badan rata-rata prajurit Majapahit pada saat itu. Matanya cenderung agak sipit dengan sorot matanya tajam. Meskipun warna kulitnya sama seperti umumnya warna kulit orang Jawa. Tentu saja otot-otot terlatih sejak kecil membuat badannya tampak gempal. Dugaan saya, tidak ada dialek atau aksen yang kentara di lidah Gajah Mada. Kemungkinan hal ini disebabkan karena sejak kecil dia sudah terbiasa berbahasa ibunya.

Selain ciri fisik, yang menguatkan dugaan saya bahwa Gajah Mada keturunan Cina adalah kerja keras dan disiplin yang dimilikinya. Menurut saya, di jawa pada jaman kerajaan dahulu, jangankan rakyat biasa, raja dan para bangsawan saja jarang sekali yang memiliki disiplin dan kerja keras yang tinggi apalagi visi yang jelas mengenai pemerintahan. Yang mereka kejar tentu saja kenyamanan. Pokoknya hidup enak dengan banyak selir. Hal ini berkebalikan dengan prinsip Gajah Mada. Coba saja kita lihat prinsip yang terkandung pada Sumpah Palapa.

Dalam sumpah itu terlihat jelas visi dan misi seorang Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara. Pertanyaannya adalah untuk apa dia ingin menyatukan Nusantara? Jawabannya adalah untuk menahan serangan dari Mongol, jika sewaktu-waktu Kubilai Khan atau penggantinya memutuskan untuk kembali menyerang Nusantara. Pertanyaan lebih lanjut, dari mana Gajah Mada bisa yakin bahwa Mongol suatu saat akan menyerang? Tentu saja karena dia besar dilingkungan Cina. Jadi dia merasakan bagaimana sisa-sisa pasukan Mongol tetap mempertahankan semangat untuk menguasai Jawa sambil menunggu kiriman pasukan dari Cina. Jadi menurut saya Sumpah Palapa bukanlah bertujuan untuk kolonisasi apalagi sampai menjajah dan merampas kekayaan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Tetapi lebih kepada penyatuan kekuatan untuk menghadapi kekuatan dahsyat yang akan datang dari arah utara, yaitu Mongol.

Sampai kematiannya di sebuah desa kecil bernama Mada di dekat Probolinggo, Gajah Mada tidak pernah tercatat memiliki keturunan. Hal ini juga merupakan bagian dari disiplinnya dalam menjalankan Sumpah Palapa. Disana dia nyatakan bahwa dia tidak akan menikmatai palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Dan bila menikmati palapa kita artikan sebagai beristirahat dan bersenang-senang, maka memiliki istri bagi Gajah Mada pastilah juga berarti beristirahat atau bersenang-senang. Hal ini lebih menguatkan lagi keyakinan saya semula bahwa Gajah Mada adalah seorang keturunan pasukan Mongol alias bukan orang Jawa asli. Karena menurut saya, jika seperti umumnya tingkah bangsawan Jawa pasti Gajah Mada sudah memiliki belasan bahkan mungkin puluhan selir sebagai hasil rampasan dari berbagai kerajaan yang ditaklukannya.

Wednesday, May 27, 2009

Asal Mula


Semasa saya kecil, Bapak saya secara sepintas lalu beberapa kali berkelakar mengenai kakeknya yang hidup sekitaran akhir tahun 1800-an. Bapak bilang kakeknya itu orang yang ditakuti. Seorang jawara sakti yang bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat sekitar, sekaligus bisa menjadi garong bagi desa-desa tetangga. Seorang penjudi yang piawai di hampir semua permainan yang ada taruhannya. Bukan cuma itu, istrinya ada empat orang. Dapat dipastikan ini terjadi bukan karena dia ganteng. Soalnya tidak ada satupun keturunan laki-lakinya, baik anak, cucu, sampai cicit yang punya wajah ganteng. Bahkan yang tampangnya “agak” lumayan saja hampir gak ada, hehehe. Kata Bapak kemungkinan keluarga istri-istri beliau itu ketakutan saat dia meminta anak gadisnya untuk dijadikan istri. Daripada terjadi yang tidak diinginkan, ya sudah anak gadisnya diserahkan sajalah.

Suatu ketika, kakeknya Bapak saya itu ditangkap Belanda di sebuah desa yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari rumahnya. Gara-garanya dia mencuri sapi di desa itu. Tidak jelas apakah dia ditahan atau langsung dilepaskan Belanda. Cerita-cerita tentang beliau tidak ada yang lengkap, soalnya saat saya klarifikasikan kepada anaknya alias kakek saya, yang terakhir ini tidak mau menjawab. Bahkan dia terkesan tidak mau membahas tentang ayahnya itu. Maka saya simpulkan bahwa hubungan ayah-anak ini tidaklah berjalan baik, penyebabnya ya sudah pasti karena ayahnya tidak pernah ada dirumah karena sibuk dengan judi, perkelahian dan aksi garong, disamping itu karena istrinya banyak maka anak-anaknya juga banyak. Walhasil susah bagi dia untuk mendapatkan perhatian ayahnya.

Tapi satu hal yang agak membuat saya terkesan adalah saat Bapak berkata bahwa kakeknya itu banyak menghabiskan uangnya untuk menelusuri silsilah keluarganya. Alias mencari dimana kawitannya (berasat dari kata “wit” yang berarti asal). Dan akhirnya memang beliau berhasil menemukan kawitannya dan datang kesana untuk menghaturkan sembah bakti. Kawitan itu terletak di Klungkung dekat dengan pusat kerajaan lama Gelgel. Cerita yang berakhir bahagia, tapi menyisakan misteri tentang bagaimana leluhur saya sampai terdampar di desa yang ditempati sekarang yang jaraknya kira-kira seratus tiga puluh kilometer dari kawitannya. Bapak saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini.

Pada saat pulang setahun yang lalu, saya sempat menjemput nenek dalam rangka menyaksikan upacara untuk anak kedua kami. Selama perjalanan menembus rimba Bali barat yang sekarang hampir gundul, nenek bercerita bagaimana asal muasal keluarga kami sampai ada di desa yang sekarang. Nenek bilang dia mendapat kisah ini dari orang lain. Dengan kata lain sumbernya tidak jelas. Jadi pada waktu itu saya sedikit banyak meragukan kebenarannya.

Kisahnya dimulai dari kunjungan raja Mengwi ke Klungkung untuk menghadap raja Klungkung. Tidak disangka, selama di Klungkung sang raja jatuh hati pada seorang gadis pedagang telur. Singkat cerita terjadi kisah kasih diantara mereka sampai si gadis pedagang telur hamil. Si raja Mengwi tidak mau menikahi si gadis, tetapi tetap mengakui anak yang dikandungnya sebagai anaknya. Tak lama kemudian lahirlah seorang anak laki-laki.

Belasan tahun kemudian, saat si anak beranjak dewasa, raja Mengwi memerintahkannya pergi ke Jembrana untuk mengambil alih kekuasaan dari raja setempat. Raja Klungkung yang mendukung aktivitas ini memberikan beberapa orang prajurit terbaiknya untuk mengawal anak raja Mengwi. Diantara pengawal itulah terdapat seorang prajurit dari klan Pasek yang bersenjatakan tulup dan tinggal di dekat Gelgel. Karena bersenjatakan tulup, oleh prajurit yang lain klan ini biasa disebut Pasek Tulup.

Dari Jembrana, para prajurit pengiring ini menyebar dan masing-masing membabat hutan dan membuka desa-desa satelit. Maka itu tinggallah anak keturunan si Pasek Tulup di desa yang saat ini ditempati oleh keluarga besar saya.

Bagi saya cerita ini memang logis, tapi tetap tidak bisa dipercaya sebagai sebuah sejarah mengingat tidak ada catatan dengan angka-angka tahun yang pasti. Sedangkan satu-satunya peninggalan arkeologis yang ada adalah sebuah pura Panti yang menurut nenek saya diusung oleh para keturunan prajurit yang berasal dari kerajaan Klungkung itu. Sejauh itu saya tidak pernah berniat mencari referensi. Mungkin juga karena tidak tahu harus mencari referensi kemana.

Lain cerita, minggu lalu saat ke toko buku untuk membeli sampul, saya melihat sebuah buku tentang kerajaan Mengwi. Langsung saya beli, semata-mata hanya karena ingin tahu lebih banyak tentang sejarah Bali. Buku itu berjudul The Spell of Power – sejarah Politik Bali 1650-1940, hasil riset seorang Belanda bernama Henk Schulte Nordholt. Eh, tak disangka didalam buku itu diulas sedikit tentang anak raja Mengwi yang ditugaskan ke Jembrana, persisi seperti cerita nenek saya.


Henk menuliskan hal tersebut berdasarkan babad Mengwi dan salah satu babad yang ada di Jembrana. Isi kedua babad tersebut kurang lebih begini. Agung Munggu, raja Mengwi keempat yang memerintah tahun 1770-an mempunyai seorang anak diluar nikah dengan seorang wanita dari golongan Jaba (orang diluar golongan bangsawan / rakyat jelata). Tapi anak itu tetap diakui dan diberi gelar Gusti Ngurah. Selanjutnya Gusti Ngurah diperintahkan untuk pergi ke puri Jembrana dan mengambil alih kekuasaan disana. Tujuannya tak lain adalah untuk menjamin kelancaran pengawasan Mengwi terhadap Blambangan yang saat itu masih dikuasainya. Sebagai sekutu Mengwi, Dewa Agung –raja Klungkung yang paling berpengaruh di Bali- menghadiahkan beberapa orang prajurit kepada Gusti Ngurah untuk mengawal perjalanannya ke Jembrana sekaligus mendampinginya pada saat berkuasa disana.

Kaget juga rasanya saat membaca ulasan mengenai hal ini. Ternyata leluhur saya kurang lebih baru tiga ratus tahun lamanya tinggal di Jembrana. Tapi bisa dipastikan bahwa kontak antara Pasek Tulup dengan keluarga asalnya jarang bahkan mungkin tidak terjadi sama sekali. Hal ini masuk akal, mengingat pada waktu itu telekomunikasi dan transportasi belum seperti sekarang. Mungkin orang akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk menempuh perjalanan sejauh seratus tiga puluh kilometer. Melewati hutan lebat dan menyeberangi sungai-sungai terjal.

Jadi pantas saja kalau kakeknya Bapak saya harus berjuang keras untuk mencari kawitannya. Karena saya yakin beliau hanya mendapatkan cerita mengenai kawitan itu dari Bapaknya yang juga mendengar hal tersebut dari Bapaknya.