Thursday, May 14, 2009

Kota Mati di Dekat Kali


Beberapa kali saya mengambil jalan memotong melewati kompleks di belakang sekolah Tarakanita saat mengarah dari jalan Wijaya menuju ke rumah. Rumah disana besar-besar. Jalannya juga lumayan lebar meskipun aspalnya kasar seolah terus-terusan terkikis air. Tapi yang jelas suasananya lumayan sepi. Padahal waktu itu saya lewat sore hari sekitar empatan. Setelah melewati pertigaan –kalau belok kekiri menuju ke Tarakanita, kalau belok kanan menuju ke Kampung Sawah— baru ketahuan kalau rumah-rumah besar sepanjang jalan itu tidak berpenghuni lagi. Ini terlihat jelas dari keadaan rumah yang tidak terawat. Tripleks plafon membusuk dan hancur. Kusen-kusen jendela tidak satupun yang masih ada kacanya. Tembok-tembok putih sudah berubah kuning kecoklatan. Dan yang pasti rumput tumbuh tinggi dihalaman depannya. Jalanan didepan rumah-rumah itu sudah berbahan beton dengan penambahan tinggi sekitar setengah meter.

Suatu saat saya kembali melewati kompleks itu. Cuman saat itu malam hari. Ternyata lampu jalanan tidak satupun yang menyala. Edan seramnya. Jalanan gelap gulita. Begitu menoleh kesamping kiri, terlihat deretan rumah kosong, gelap tanpa penghuni (maksudnya penghuni yang bisa dilihat dengan mata). Saat menoleh kebelakang, ternyata tidak ada orang lain yang lewat. Tidak pejalan kaki, tidak motor apalagi mobil. Busyet. Rasanya ini baru jam setengah sepuluh malam, tapi kok suasananya sudah sepi begini. Syukur akhirnya didekat belokan menuju ke gang sempit ada lampu bohlam yang menyala, memberi penerangan dengan nuansa seperti nyala api.

Setelah ngobrol dengan tetangga kiri kanan, ternyata dugaan saya benar. Kondisi kompleks itu berubah drastis setelah beberapa tahun terakhir mereka kebanjiran terus. Setahu saya tepat dibelakang kompleks terdapat lanjutan kali Krukut. Jadi setiap kali hujan deras, air dari kali selalu meluber memenuhi jalanan bahkan sampai masuk ke rumah warga. Dari tahun ke tahun ketinggian air yang masuk ke rumah warga ternyata semakin bertambah. Ujung-ujungnya, pindahlah semua orang yang bermukim disana ketempat yang lebih baik, entah dimana.

Cuman yang bikin saya bertanya-tanya, oleh pemiliknya yang sudah pergi itu akan diapakan tanah dan rumah kosongnya? Dibiarkan membusuk begitu saja? Kok sepertinya sayang banget. Tapi mau bagaimana lagi yah? Dijual, sudah pasti tidak akan laku. Meskipun dengan harga serendah-rendahnya, orang yang berpikiran sehat pasti tidak akan tertarik. Mau dipakai tempat usaha? Huahahaha, ya sama saja, mana mungkin bisa. Yang ada malah rugi dua kali, selain bangunannya rusak, barang-barang untuk usaha pasti juga akan hancur. Jadi ya sudah, dibiarkan saja melapuk sesuai kemampuan alam (dalam hal ini banjir) menghancurkannya. Dan saya yakin, dalam 5 tahun kedepan, rumah-rumah disana sudah akan rata dengan tanah. Mungkin yang tersisa cuman satu dua tiang beton bekas kolom penyangga rumah.

Kalau sudah begitu, bukankah sebaiknya pemerintah membeli tanah – tanah disana. Mumpung harganya murah, pasti akan terjangkau dengan menggunakan anggaran pemerintah yang katanya banyak di korupsi itu. Dengan menggunakan tanah yang dibeli itu, barulah dilakukan pelebaran kali, sekaigus penanaman pohon disepanjang kali. Bila perlu dibuat semacam teras yang menjadi pemisah antara kali dengan jalan atau pemukiman. Teras itu kemudian ditanami pohon dan dijadikan tanam. Lumayan kan buat rekreasi warga kota yang haus akan hiburan. Yah, kurang lebih sama lah dengan rencana pembangunan banjir kanal timur yang masih tersendat-sendat itu. Cuman yang ini sifatnya lebih kecil dilokasi tertentu saja. Terutama lokasi yang memungkinkan pemerintah membeli tanah warga dengan harga murah, karena memang tanah itu sudah tidak digunakan lagi. Setuju tidak?

Wednesday, May 13, 2009

Sex, Drug and Rock n Roll


Anda pasti sudah nonton film “Almost Famous” kan?. Kalau belum, saya akan ceritakan sedikit. Film yang mengambil setting tahun 1970-an menceritakan tentang seorang jurnalis remaja (diperankan oleh Patrick Fugit) yang ditugasi oleh majalah Rolling Stone untuk meliput sebuah group rock yang sedang naik daun bernama Stillwater. Si jurnalis --yang semula dianggap musuh karena semata-mata dia seorang jurnalis-- berhasil mengikuti perjalanan tur Stillwater dan akhirnya menjadi teman bagi band tersebut.

Sepanjang film dapat kita lihat bagaimana kehidupan Rock Star di tahun 70-an. Mulai dari suasana bus dan pesawat yang digunakan tur sampai suasana hotel tempat mereka menginap. Tidak ketinggalan gemuruh penonton yang berteriak-teriak saat mereka melakukan pertunjukan. Tapi yang paling sering terlihat adalah suasana hura-hura. Para personil band selalu mabuk dan selalu dikelilingi wanita. Ada juga diperlihatkan juga bagaimana mereka dalam keadaan setengah sadar karena pengaruh obat terlarang. Wah, pokoknya Sex, Drug and Rock n Roll.

Di film yang sama, sekilas juga diperlihatkan bagaimana Stillwater bertemu dengan band rock lain seperti The Who atau Led Zeppelin baik di hotel ataupun dibelakang panggung setelah pertunjukan. Dan, dari setting adegannya, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa band rock yang lain juga dalam kondisi “suasana” yang sama dengan Stillwater, yaitu selalu dalam keadaan mabuk, setengah sadar karena pengaruh obat dan pasti selalu ditemani wanita-wanita yang menganggap mereka keren.

Memasuki tahun 80-an, ternyata stempel “sex, drug and rock n roll” lebih tebal lagi melekat pada hampir semua band rock atau heavy metal yang ada. Bagaimana tidak, keluar masuk panti rehabilitasi sudah menjadi kebiasaan para personilnya. Kalau bukan karena kecanduan alkohol pastilah karena narkoba. Mereka juga sering berurusan dengan polisi karena menghancurkan properti hotel tempat mereka menginap. Menurut pengakuannya, Nikki Six -bassist Motley Crue- pernah mati suri selama empat menit karena overdosis. Sedangkan Gene Simmons, pentolan group Kiss mengaku kalau dia telah tidur dengan lebih dari 3000 wanita. Busyet. Kalau sudah begini bagaimana stempel tadi bisa dihilangkan yah.

Dalam penilaian saya, “kondisi” group rock atau heavy metal, apapun nama groupnya, juga sama persisi seperti kesimpulan diatas. Tapi setelah saya menonton DVD live sebuah band asal Tampa - Florida: Kamelot, penilaian saya jadi agak melunak. Dalam DVD itu terdapat sedikit dokumenter tentang kegiatan sehari-hari personil Kamelot. Disana ditunjukkan suasana rumah Thomas Youngblood sang gitaris. Ternyata itu rumah di daerah sub urban itu tertata dengan sangat rapi seperti keluarga amerika kelas menengah lainnya. Ada kebun bunga di depan dan samping rumah. Ada ruang bacanya. Ada ruang keluarga lengkap dengan piano. Dan yang mengejutkan ada kucing yang menjadi peliharaannya. Sepertinya kehidupan Thomas dengan istri dan anak perempuannya berjalan sangat sangat normal.

Lain lagi dengan pengakuan Gary Wehrkamp. Menanggapi pertanyaan mengenai mengapa Shadow Gallery tidak pernah melakukan live show apalagi tour, sang Vokalis sekaligus gitaris group progressive metal ini mengatakan bahwa seluruh personil Shadow Gallery memiliki rutinitasnya masing-masing. Mulai dari mengurus pekerjaan, keluarga, binatang peliharaan sampai tagihan termasuk cicilan rumah. Nah loh. Bagaimana mungkin seorang rocker menganggap karier bermusik sebagai kegiatan paruh waktu. Sepertinya tidak masuk akal. Tapi itulah kenyatannya. Ternyata mereka semua memilki kehidupan nyata yang wajar seperti orang-orang kebanyakan. Bermusik bagi mereka adalah kegiatan nomor sekian setelah keluarga dan pekerjaannya. Meskipun telah enam album mereka keluarkan dan laku di pasar.

So, berkaca dari Kamelot dan Shadow Gallery, toh ternyata tidak semua rock star atau band heavy metal harus mengikuti aturan Sex, Drug and Rock n Roll. Bahkan bagi mereka, kontroversi sepertinya sudah tidak laku lagi untuk mencari popularitas. Penikmat musik rock dan metal sekarang pasti lebih melihat kemampuan bermusik dibandingkan artikel miring di majalah gosip.

Tuesday, May 12, 2009

Emansipasi


Samar-samar saya masih ingat waktu pertama kali melihat seorang wanita menyetir mobil. Pemandangan itu cukup memberi kesan bagi saya. Mungkin anda bertanya, pemandangan gitu aja kok bisa berkesan? Ya karena itu terjadi tiga puluh tahun yang lalu, disebuah kota kabupaten kecil yang jalan rayanya jarang dilalui mobil. Mungkin kalau saya tinggal di kota besar, hal itu tidak akan berkesan sama sekali. Apalagi kalau pada dasawarsa pertama milenium ketiga ini, melihat wanita menyetir pasti tidak aneh lagi. Yang aneh justru kalau mendengar ada wanita yang tidak bisa menyetir. Jangankan Cuma mobil, wanita nyetir bus sampai helicopter dan pesawat terbang juga terlihat biasa saja.

Tidak berselang berapa lama setelah melihat wanita yang menyetir, ada pekerjaan pelebaran jalan raya didepan rumah orang tua saya. Suatu siang, dari teras rumah saya mengamati beberapa orang yang bekerja disana. Mengangkut pasir dan kerikil dan menebarkannya untuk meninggikan permukaan jalan. Kembali saya melihat pemandangan yang berkesan. Beberapa wanita mengangkut ember berisi pasir diatas kepalanya dengan bantuan handuk sebagai penyangga. Disebelahnya, dua orang laki-laki sedang memanaskan drum aspal dengan menggunakan kayu bakar dalam tungku batu bata. Sementara beberapa laki-laki lain juga sibuk mengangkut dan meratakan pasir dan kerikil. Waktu itu saya heran, karena untuk pertama kalinya saya melihal wanita ikut dalam pekerjaan kasar yang biasanya dilakukan laki-laki.

Bulan April lalu, saat radio-radio ibu kota sibuk mendiskusikan emansipasi dalam kaitannya dengan perayaan hari Kartini, kenangan tentang wanita menyetir mobil dan wanita pengangkut pasir itu kembali hadir. Wanita yang nyetir dulu itu jelas-jelas sebuah emansipasi bagi saya. Tapi bagaimana dengan wanita yang bekerja mengangkut pasir di proyek perbaikan jalan? Otak saya menolak membenarkan bahwa ini juga emansipasi. Memang benar bahwa wanita itu mencapai kesetaraan dengan pria lain yang mengangkut pasir dan kerikil. Tapi tetap saja terasa ada yang salah.

Setelah direnungkan di kamar mandi, akhirnya saya mendapatkan pencerahan. Emansipasi (dalam pengertian persamaan kesempatan mendapatkan pekerjaan bagi wanita) seharusnya mengarah ke hal-hal yang sifatnya positif. Dalam artian pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tingkat keahlian tinggi atau tingkat pendidikan tinggi. Karena pada kenyataannya, menurut saya tidak pernah terdapat pembedaan antara wanita dan pria dalam karir. Kalau wanita lebih pintar atau lebih mampu, pasti dia akan memperoleh kesempatannya.


Berdasarkan analisa ini, saya menyimpulkan bahwa ternyata wanita pekerja proyek jalan tadi tidak memiliki keahlian atau pendidikan tinggi. Jadi dia terpaksa terjun ke pekerjaan itu. Jadi masalah utamanya semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, alias kondisi ekonominya lah yang mengharuskan ia bekerja. Ia mungkin tidak pernah memikirkan apa itu emansipasi. Seperti yang saya yakini bahwa wanita-wanita sukses saat ini juga tidak pernah memikirkan arti emansipasi. Karena pada kenyataannya mereka berbuat bukan demi emansipasi tapi demi kemajuan dirinya sendiri. Kalau sudah begini perlukah lagi didiskusikan masalah emansipasi? Saya pikir ini sudah basi. Wanita sudah jauh melampaui arti emansipasi. Jadi tidak perlu lagi lah diangkat-angkat masalah ini. Kalau kesimpulannya sudah begitu, buat apa lagi Menteri Pemberdayaan Perempuan (eh, kabinet pada sekarang menteri ini masih ada gak sih?). Bagi saya kementerian ini benar-benar penghinaan bagi wanita.

Dan lebih jauh lagi, semoga tidak ada lagi wanita yang minta tempat duduk saat di bus kota atau di kereta dengan berbagai alasan, kecuali hamil atau tua. Karena yang namanya persamaan seharusnya memang begitu.

Suap, Budaya Warisan Leluhur


Sebelum penegasan keberadaan bangsa Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, terdapat puluhan bahkan mungkin ratusan kerajaan besar dan kecil yang mendiami wilayah kepulauan Nusantara. Tentu saja dengan budaya yang berbeda-beda. Jangankan untuk kerajaan yang berbeda pulau alias dibatasi oleh laut, untuk kerajaan-kerajaan yang sepulau saja perbedaannya begitu besar. Coba saja kita amati lagi perbedaan budaya antara orang-orang yang sekarang mendiami jawa bagian timur, jawa bagian tengah dan jawa bagian barat. Atau perbedaan antara penduduk sumetera bagian utara, sumatera bagian barat dan sumatera bagian selatan.

Tapi satu hal yang sama di jaman itu dan berlaku untuk seluruh kerajaan di Nusantara bahkan dibelahan bumi yang lain, ialah penghormatan yang sangat besar bagi raja dan keluarganya. Raja dianggap sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi. Dengan demikian segala hak milik individu, bahkan termasuk jiwa dan raga rakyatnya, adalah milik raja. Maka segala yang diucapkan raja adalah perintah yang harus dilaksanakan dan segala yang diinginkannya menjadi kewajiban rakyatnya untuk memenuhi. Tapi alih-alih hal ini menjadi beban bagi rakyatnya, rasa syukur dan bangga tak terkira justru yang terjadi apabila sang rakyat mampu memenuhi keinginan rajanya. Sebuah keluarga akan luar biasa senang apabila seorang anak gadisnya dipilih menjadi selir yang ke empat puluh oleh raja. Bahkan kalau hanya bisa menjadi abdi dalem dengan tugas-tugas membersihkan keratin saja mereka sudah senang setengah mati, meskipun mungkin imbalannya tidak seberapa.

Penghormatan-penghormatan seperti ini juga diberikan kepada semua pejabat kerajaan, mulai dari pejabat tinggi yaitu patih, tumenggung, senopati sampai dengan yang paling rendah setingkat lurah prajurit (mengambil contoh tingkatan pangkat keprajuritan pada jaman Majapahit). Setiap waktu tertentu, biasanya setelah panen dilangsungkan, upeti akan dikirimkan kepada para penguasa wilayah. Tentu saja upetai akan dipersembahkan pula apabila sang penguasa datang berkunjung atau sekedar melintas di sebuah desa. Jangan salah, upeti bukan berarti pajak. Pajak tetap ada dan dipungut oleh penguasa wilayah, sementara upeti lebih merupakan pemberian yang bersifat suka rela.

Setelah republik ini berdiri, apa yang kemudian terjadi dengan budaya upeti? ternyata tumbuh lebih subur lagi. Namanya kini lebih keren (atau malah lebih jorok?) : suap. Budaya ini benar-benar klop dengan sifat rakus para pejabat negara. Mulai dari yang paling tinggi di istana sampai yang paling rendah di kantor kelurahan. Mulai dari ruangan ber-AC sampai jalan raya. Mulai dari departemen sampai ke parlemen. Mulai dari kisaran ribuan perak sampai yang milyaran rupiah. Saking sudah merakyatnya, sampai-sampai ada orang yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang wajar. Yang sering dijadikan contoh pastinya pengurusan KTP. Kalau mau contoh yang rupiahnya lebih besar dikit, kita bisa lihat dijalan raya sewaktu ada yang kena tilang. Kalau mau yang nilainya lebih besar lagi, ya tinggal baca di koran saja.

Kata pakar yang berkecimpung di bidang Risk Management, suap ini agak susah untuk diungkap. Beda dengan korupsi yang jelas buktinya --yaitu besarnya kerugian negara akibat digunakannya uang negara untuk kepentingan Pribadi— suap cenderung tidak memiliki bukti. Apalagi kalau suap kecil-kecil tapi merata seperti yang terjadi pada kantor pelayanan publik. Tentu akan susah untuk diperkarakan lewat jalur hukum. Sebabnya bukan apa-apa sih, cuman uang yang diperlukan untuk menyuap polisi, pengacara, jaksa dan hakim jauh lebih besar, hehehehehehe.

Entah sampai kapan budaya ini akan terus kita wariskan kepada anak cucu, generasi penerus yang katanya akan membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Soalnya kalau dihitung-hitung, sampai sekarang sudah beberapa kali pula saya melakukan tindakan ini dengan kesadaran tinggi. Hanya saja, rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dada. Mudah-mudahan generasi penerus kita tidak akan merasakan ganjalan seperti ini karena mereka akan berani berkata tidak pada suap.

Sunday, May 10, 2009

Kebetulan


Kadang kita berusaha untuk berbuat sesuatu dengan tujuan-tujuan tertentu yang kita yakini akan bisa kita capai. Tapi setelah melalui proses panjang ternyata apa yang terjadi kemudian, apa yang kita rencanakan tidak selalu kita dapatkan. Dan sebagai gantinya kita mendapatkan hasil yang lain, bisa lebih buruk atau malah jauh lebih baik. Hal ini terjadi pada saya kemarin saat harus mengencangkan sebuah mur pada sepeda anak saya. Dan untuk itu membutuhkan sebuah kunci pas yang saya yakin tersimpan di tempat peralatan yang ada di gudang. Setelah bongkar sana sini selama 10 menit, saya belum juga menemukan benda yang saya cari.Sebagai gantinya, saya malah menemukan sekotak paku beton yang minggu sebelumnya saya cari-cari pada saat akan menggantung figura. Kalau sudah begitu, saya sering bingung: harus sedih ataukah gembira. Sedih karena tidak mendapatkan apa yang saya cari atau gembira karena mendapatkan apa yang saya tidak cari.

Ternyata banyak temuan besar yang mengubah peradaban manusia berasal dari kebetulan semacam yang saya alami itu. Nassim Nicholas Taleb dalam Black Swan menunjukkan bahwa ternyata sebagian besar temuan-temuan para ilmuwan yang mengubah dunia adalah sebuah kebetulan. Viagra, sebuah obat yang awalnya dirancang untuk mengobati hipertensi ternyata berakhir sebagai obat yang membuat laki-laki pensiunan lebih percaya diri. Sementara obat hipertensi lain yang sengaja dikembangkan malah berakhir menjadi obat penumbuh rambut.

Charles Twnes selalu digoda teman-temannya saat ia menemukan laser. Kenapa? Karena waktu pertama ditemukan tentu saja ia belum tahu kegunaan laser. Ia hanya ingin bermain-main untuk memuaskan hasratnya menmbelah-belah berkas cahaya. Dia sama sekali tidak memikirkan bahwa suatu saat nanti laser akan digunakan pada bedah mikro, compact disc sampai penyimpanan dan pengambilan data. Begitu pula dengan salah satu temuan terbesar dalam dunia kedokteran. Alexander Fleming sedang membersihkan laboratoriumnya ketika ia menemukan bahwa jamur penicillium telah mencemari salah satu eksperimennya. Jadi secara kebetulan saja ia menemukan sifat-sifat antibakteri pada pinisilin.
Dalam bidang fisika, sangat sering disebutkan bahwa Isaac Newton mendapatkan ide tentang gravitasi karena secara tidak sengaja kejatuhan buah apel saat duduk dibawah pohonnya.

Hal sebaliknya terjadi pada perusahaan penerbangan Amerika Pan Am. Beberapa saat setelah Neil Armstrong melangkahkan kakinya di bulan, Pan Am melalui divisi marketingnya membuka penawaran tiket untuk perjalanan bolak- balik dari bumi ke bulan. Wah, sebuah prediksi yang hebat. Tetapi yang justru terjadi kemudian adalah mereka bangkrut sebelum rute itu terealisasi.
Seorang teman yang berprofesi sebagai pialang paruh waktu pernah berkata bahwa tiga temuan terbesar sepanjang keberadaan umat manusia adalah api, roda dan bank sentral. Saya setuju dengan dua yang pertama, tapi tentu saja lebih memilih teori konspirasi sebagai temuan ketiga. Saya tidak tahu yang memegang hak paten atas api atau roda, apalagi teori konspirasi yang taraf intelektualitasnya sedikit diatas gosip. Tapi setelah direnungkan lagi, saya yakin bahwa ketiga temuan diatas juga merupakan kebetulan belaka.

Jadi kalau anda tidak menemukan yang anda cari dan sebagai gantinya menemukan yang lain, maka sadarlah keberuntungan besar sedang menanti anda. Atau malah sebaliknya, bencana besar akan terjadi pada anda. Ah, sepertinya tidak mungkin, wong namanya juga kebetulan, hehehehehe.