
Beberapa kali saya mengambil jalan memotong melewati kompleks di belakang sekolah Tarakanita saat mengarah dari jalan Wijaya menuju ke rumah. Rumah disana besar-besar. Jalannya juga lumayan lebar meskipun aspalnya kasar seolah terus-terusan terkikis air. Tapi yang jelas suasananya lumayan sepi. Padahal waktu itu saya lewat sore hari sekitar empatan. Setelah melewati pertigaan –kalau belok kekiri menuju ke Tarakanita, kalau belok kanan menuju ke Kampung Sawah— baru ketahuan kalau rumah-rumah besar sepanjang jalan itu tidak berpenghuni lagi. Ini terlihat jelas dari keadaan rumah yang tidak terawat. Tripleks plafon membusuk dan hancur. Kusen-kusen jendela tidak satupun yang masih ada kacanya. Tembok-tembok putih sudah berubah kuning kecoklatan. Dan yang pasti rumput tumbuh tinggi dihalaman depannya. Jalanan didepan rumah-rumah itu sudah berbahan beton dengan penambahan tinggi sekitar setengah meter.
Suatu saat saya kembali melewati kompleks itu. Cuman saat itu malam hari. Ternyata lampu jalanan tidak satupun yang menyala. Edan seramnya. Jalanan gelap gulita. Begitu menoleh kesamping kiri, terlihat deretan rumah kosong, gelap tanpa penghuni (maksudnya penghuni yang bisa dilihat dengan mata). Saat menoleh kebelakang, ternyata tidak ada orang lain yang lewat. Tidak pejalan kaki, tidak motor apalagi mobil. Busyet. Rasanya ini baru jam setengah sepuluh malam, tapi kok suasananya sudah sepi begini. Syukur akhirnya didekat belokan menuju ke gang sempit ada lampu bohlam yang menyala, memberi penerangan dengan nuansa seperti nyala api.
Setelah ngobrol dengan tetangga kiri kanan, ternyata dugaan saya benar. Kondisi kompleks itu berubah drastis setelah beberapa tahun terakhir mereka kebanjiran terus. Setahu saya tepat dibelakang kompleks terdapat lanjutan kali Krukut. Jadi setiap kali hujan deras, air dari kali selalu meluber memenuhi jalanan bahkan sampai masuk ke rumah warga. Dari tahun ke tahun ketinggian air yang masuk ke rumah warga ternyata semakin bertambah. Ujung-ujungnya, pindahlah semua orang yang bermukim disana ketempat yang lebih baik, entah dimana.
Cuman yang bikin saya bertanya-tanya, oleh pemiliknya yang sudah pergi itu akan diapakan tanah dan rumah kosongnya? Dibiarkan membusuk begitu saja? Kok sepertinya sayang banget. Tapi mau bagaimana lagi yah? Dijual, sudah pasti tidak akan laku. Meskipun dengan harga serendah-rendahnya, orang yang berpikiran sehat pasti tidak akan tertarik. Mau dipakai tempat usaha? Huahahaha, ya sama saja, mana mungkin bisa. Yang ada malah rugi dua kali, selain bangunannya rusak, barang-barang untuk usaha pasti juga akan hancur. Jadi ya sudah, dibiarkan saja melapuk sesuai kemampuan alam (dalam hal ini banjir) menghancurkannya. Dan saya yakin, dalam 5 tahun kedepan, rumah-rumah disana sudah akan rata dengan tanah. Mungkin yang tersisa cuman satu dua tiang beton bekas kolom penyangga rumah.
Kalau sudah begitu, bukankah sebaiknya pemerintah membeli tanah – tanah disana. Mumpung harganya murah, pasti akan terjangkau dengan menggunakan anggaran pemerintah yang katanya banyak di korupsi itu. Dengan menggunakan tanah yang dibeli itu, barulah dilakukan pelebaran kali, sekaigus penanaman pohon disepanjang kali. Bila perlu dibuat semacam teras yang menjadi pemisah antara kali dengan jalan atau pemukiman. Teras itu kemudian ditanami pohon dan dijadikan tanam. Lumayan kan buat rekreasi warga kota yang haus akan hiburan. Yah, kurang lebih sama lah dengan rencana pembangunan banjir kanal timur yang masih tersendat-sendat itu. Cuman yang ini sifatnya lebih kecil dilokasi tertentu saja. Terutama lokasi yang memungkinkan pemerintah membeli tanah warga dengan harga murah, karena memang tanah itu sudah tidak digunakan lagi. Setuju tidak?
Suatu saat saya kembali melewati kompleks itu. Cuman saat itu malam hari. Ternyata lampu jalanan tidak satupun yang menyala. Edan seramnya. Jalanan gelap gulita. Begitu menoleh kesamping kiri, terlihat deretan rumah kosong, gelap tanpa penghuni (maksudnya penghuni yang bisa dilihat dengan mata). Saat menoleh kebelakang, ternyata tidak ada orang lain yang lewat. Tidak pejalan kaki, tidak motor apalagi mobil. Busyet. Rasanya ini baru jam setengah sepuluh malam, tapi kok suasananya sudah sepi begini. Syukur akhirnya didekat belokan menuju ke gang sempit ada lampu bohlam yang menyala, memberi penerangan dengan nuansa seperti nyala api.
Setelah ngobrol dengan tetangga kiri kanan, ternyata dugaan saya benar. Kondisi kompleks itu berubah drastis setelah beberapa tahun terakhir mereka kebanjiran terus. Setahu saya tepat dibelakang kompleks terdapat lanjutan kali Krukut. Jadi setiap kali hujan deras, air dari kali selalu meluber memenuhi jalanan bahkan sampai masuk ke rumah warga. Dari tahun ke tahun ketinggian air yang masuk ke rumah warga ternyata semakin bertambah. Ujung-ujungnya, pindahlah semua orang yang bermukim disana ketempat yang lebih baik, entah dimana.
Cuman yang bikin saya bertanya-tanya, oleh pemiliknya yang sudah pergi itu akan diapakan tanah dan rumah kosongnya? Dibiarkan membusuk begitu saja? Kok sepertinya sayang banget. Tapi mau bagaimana lagi yah? Dijual, sudah pasti tidak akan laku. Meskipun dengan harga serendah-rendahnya, orang yang berpikiran sehat pasti tidak akan tertarik. Mau dipakai tempat usaha? Huahahaha, ya sama saja, mana mungkin bisa. Yang ada malah rugi dua kali, selain bangunannya rusak, barang-barang untuk usaha pasti juga akan hancur. Jadi ya sudah, dibiarkan saja melapuk sesuai kemampuan alam (dalam hal ini banjir) menghancurkannya. Dan saya yakin, dalam 5 tahun kedepan, rumah-rumah disana sudah akan rata dengan tanah. Mungkin yang tersisa cuman satu dua tiang beton bekas kolom penyangga rumah.
Kalau sudah begitu, bukankah sebaiknya pemerintah membeli tanah – tanah disana. Mumpung harganya murah, pasti akan terjangkau dengan menggunakan anggaran pemerintah yang katanya banyak di korupsi itu. Dengan menggunakan tanah yang dibeli itu, barulah dilakukan pelebaran kali, sekaigus penanaman pohon disepanjang kali. Bila perlu dibuat semacam teras yang menjadi pemisah antara kali dengan jalan atau pemukiman. Teras itu kemudian ditanami pohon dan dijadikan tanam. Lumayan kan buat rekreasi warga kota yang haus akan hiburan. Yah, kurang lebih sama lah dengan rencana pembangunan banjir kanal timur yang masih tersendat-sendat itu. Cuman yang ini sifatnya lebih kecil dilokasi tertentu saja. Terutama lokasi yang memungkinkan pemerintah membeli tanah warga dengan harga murah, karena memang tanah itu sudah tidak digunakan lagi. Setuju tidak?