
Hari Kartini datang lagi. Di beberapa radio ibukota yang sempat saya dengar sewaktu mengendara mobil, hari lahir pahlawan wanita itu diulas begitu heboh. Mulai dari busana tradisional jawa sampai prestasi yang telah dicapai wanita Indonesia saat ini. Wah hebat lah pokoknya, ada yang jadi pilot helicopter tempur, ada juga yang udah jadi kapolda (kalo gak salah denger ya), sampai supir bus.
Tapi, kembali ke busana tradisional, yang ini bikin saya rada miris. Bukan apa-apa, tapi “budaya” yang mengaitkan bahwa hari Kartini sama dengan waktu untuk memakai konde, kebaya dan kemben menurut saya salah besar. Mana mungkin masuk akal jika saat peringatan hari emansipasi tiba-tiba wanita kembali memakai busana tradisional jawa yang notabene mencerminkan kungkungan masyarakat tradisional terhadap tingkah laku perempuan. Pada tahun – tahun yang telah lewat, bahkan anak sekolah diwajibkan untuk mengenakan busana tradisional pada hari Kartini. Apa korelasi hari Kartini terhadap penggunaan busana tradisional? Jelas tidak ada. Bahkan kalau mungkin saat ini Kartini kita Tanya apakah dia suka mengenakan busana tradisional, kemungkinan besar jawabannya tidak. Karena dengan gaya pemikirannya yang katanya maju itu, kemungkinan besar dia akan memilih celana panjang dan blazer hitam seperti yang biasa dipakai prefosional wanita di kantoran.
Kalau kita buat pengamatan lebih jauh lagi, hari Kartini mungkin tidak akan ada bahkan pemikiran Kartini kemungkinan tidak akan pernah diketahui publik apabila J.H. Abendanon tidak mengumpulkan dan menerbitkan surat-surat Kartini kepada teman-temannya di Eropa sana. Just info, Menir Abendanon ini adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda pada waktu itu. Nah, sudah keliatan kan teori konspirasi dibelakangnya. Kenapa pemerintah Belanda yang adalah penjajah Indonesia sampai mau menerbitkan surat-surat itu dalam satu buku, padahal mereka waktu itu sangat mengekang kemajuan berpikir rakyat jajahannya. Sepertinya Belanda punya agenda tersembunyi untuk hal ini. Tapi sayangnya sejak saya SD sampai SMA tidak pernah sekalipun guru sejarah saya mengajak anak didiknya untuk berpikir kearah sana. Yang penting hafal tanggal dan peristiwanya saja. Itu sudah cukup untuk dapat nilai 8 di raport.
Kembali lagi ke pemikiran Kartini yang diterbitkan menteri Belanda itu, saya sering bertanya dalah hati apa iya pemikiran Kartini murni seperti itu tanpa ditambah-tambahi oleh editornya alias Menir Londo itu. Kalau percetakan sih rasanya tidak mungkin menambahi, karena hal sesuai aturan baku yang ada bahwa isi diluar tanggung jawab percetakan. Kenapa saya berpikir begitu, karena saya melihat dari sejarah juga, bahwa ternyata Kartini menikah atau tepatnya dinikahkan di usia 23 tahun, setelah sebelumnya dia dipingit sejak usia 12 tahun. Kartini selama kurang lebih setahun menjadi istri keempat Bupati Rembang sebelum akhirnya meninggal di usia 25 tahun karena melahirkan anaknya. Nah inilah yang mengganggu saya, bagaimana bisa orang dengan pemikiran maju seperti itu tunduk atau ditundukkan oleh sistem dan norma-norma yang berlaku. Dan sepertinya dia tidak berbuat apa-apa untuk melawannya, selain hanya menulis surat. Apakah tidak ada perlawanan dari Kartini, apakah dia tidak protes dan mengeraskan hatinya untuk mengikuti kemauannya, inilah yang kita tidak pernah tau.
Tapi satu prestasi tetap dia ukir, yaitu pada waktu menjadi istri bupati Rembang dan sebelum wafatnya dia telah mendirikan sebuah sekolah untuk para remaja putrid. Tidak jelas apakah hanya putri bangsawan yang boleh sekolah disana atau rakyat jelata juga diperbolehkan. Yang jelas, sebuah sekolah wanita telah berdiri, sebuah norma tradisional telah runtuh.
Tapi, kembali ke busana tradisional, yang ini bikin saya rada miris. Bukan apa-apa, tapi “budaya” yang mengaitkan bahwa hari Kartini sama dengan waktu untuk memakai konde, kebaya dan kemben menurut saya salah besar. Mana mungkin masuk akal jika saat peringatan hari emansipasi tiba-tiba wanita kembali memakai busana tradisional jawa yang notabene mencerminkan kungkungan masyarakat tradisional terhadap tingkah laku perempuan. Pada tahun – tahun yang telah lewat, bahkan anak sekolah diwajibkan untuk mengenakan busana tradisional pada hari Kartini. Apa korelasi hari Kartini terhadap penggunaan busana tradisional? Jelas tidak ada. Bahkan kalau mungkin saat ini Kartini kita Tanya apakah dia suka mengenakan busana tradisional, kemungkinan besar jawabannya tidak. Karena dengan gaya pemikirannya yang katanya maju itu, kemungkinan besar dia akan memilih celana panjang dan blazer hitam seperti yang biasa dipakai prefosional wanita di kantoran.
Kalau kita buat pengamatan lebih jauh lagi, hari Kartini mungkin tidak akan ada bahkan pemikiran Kartini kemungkinan tidak akan pernah diketahui publik apabila J.H. Abendanon tidak mengumpulkan dan menerbitkan surat-surat Kartini kepada teman-temannya di Eropa sana. Just info, Menir Abendanon ini adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda pada waktu itu. Nah, sudah keliatan kan teori konspirasi dibelakangnya. Kenapa pemerintah Belanda yang adalah penjajah Indonesia sampai mau menerbitkan surat-surat itu dalam satu buku, padahal mereka waktu itu sangat mengekang kemajuan berpikir rakyat jajahannya. Sepertinya Belanda punya agenda tersembunyi untuk hal ini. Tapi sayangnya sejak saya SD sampai SMA tidak pernah sekalipun guru sejarah saya mengajak anak didiknya untuk berpikir kearah sana. Yang penting hafal tanggal dan peristiwanya saja. Itu sudah cukup untuk dapat nilai 8 di raport.
Kembali lagi ke pemikiran Kartini yang diterbitkan menteri Belanda itu, saya sering bertanya dalah hati apa iya pemikiran Kartini murni seperti itu tanpa ditambah-tambahi oleh editornya alias Menir Londo itu. Kalau percetakan sih rasanya tidak mungkin menambahi, karena hal sesuai aturan baku yang ada bahwa isi diluar tanggung jawab percetakan. Kenapa saya berpikir begitu, karena saya melihat dari sejarah juga, bahwa ternyata Kartini menikah atau tepatnya dinikahkan di usia 23 tahun, setelah sebelumnya dia dipingit sejak usia 12 tahun. Kartini selama kurang lebih setahun menjadi istri keempat Bupati Rembang sebelum akhirnya meninggal di usia 25 tahun karena melahirkan anaknya. Nah inilah yang mengganggu saya, bagaimana bisa orang dengan pemikiran maju seperti itu tunduk atau ditundukkan oleh sistem dan norma-norma yang berlaku. Dan sepertinya dia tidak berbuat apa-apa untuk melawannya, selain hanya menulis surat. Apakah tidak ada perlawanan dari Kartini, apakah dia tidak protes dan mengeraskan hatinya untuk mengikuti kemauannya, inilah yang kita tidak pernah tau.
Tapi satu prestasi tetap dia ukir, yaitu pada waktu menjadi istri bupati Rembang dan sebelum wafatnya dia telah mendirikan sebuah sekolah untuk para remaja putrid. Tidak jelas apakah hanya putri bangsawan yang boleh sekolah disana atau rakyat jelata juga diperbolehkan. Yang jelas, sebuah sekolah wanita telah berdiri, sebuah norma tradisional telah runtuh.
Selamat Hari Kartini
No comments:
Post a Comment