
Semasa saya kecil, Bapak saya secara sepintas lalu beberapa kali berkelakar mengenai kakeknya yang hidup sekitaran akhir tahun 1800-an. Bapak bilang kakeknya itu orang yang ditakuti. Seorang jawara sakti yang bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat sekitar, sekaligus bisa menjadi garong bagi desa-desa tetangga. Seorang penjudi yang piawai di hampir semua permainan yang ada taruhannya. Bukan cuma itu, istrinya ada empat orang. Dapat dipastikan ini terjadi bukan karena dia ganteng. Soalnya tidak ada satupun keturunan laki-lakinya, baik anak, cucu, sampai cicit yang punya wajah ganteng. Bahkan yang tampangnya “agak” lumayan saja hampir gak ada, hehehe. Kata Bapak kemungkinan keluarga istri-istri beliau itu ketakutan saat dia meminta anak gadisnya untuk dijadikan istri. Daripada terjadi yang tidak diinginkan, ya sudah anak gadisnya diserahkan sajalah.
Suatu ketika, kakeknya Bapak saya itu ditangkap Belanda di sebuah desa yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari rumahnya. Gara-garanya dia mencuri sapi di desa itu. Tidak jelas apakah dia ditahan atau langsung dilepaskan Belanda. Cerita-cerita tentang beliau tidak ada yang lengkap, soalnya saat saya klarifikasikan kepada anaknya alias kakek saya, yang terakhir ini tidak mau menjawab. Bahkan dia terkesan tidak mau membahas tentang ayahnya itu. Maka saya simpulkan bahwa hubungan ayah-anak ini tidaklah berjalan baik, penyebabnya ya sudah pasti karena ayahnya tidak pernah ada dirumah karena sibuk dengan judi, perkelahian dan aksi garong, disamping itu karena istrinya banyak maka anak-anaknya juga banyak. Walhasil susah bagi dia untuk mendapatkan perhatian ayahnya.
Tapi satu hal yang agak membuat saya terkesan adalah saat Bapak berkata bahwa kakeknya itu banyak menghabiskan uangnya untuk menelusuri silsilah keluarganya. Alias mencari dimana kawitannya (berasat dari kata “wit” yang berarti asal). Dan akhirnya memang beliau berhasil menemukan kawitannya dan datang kesana untuk menghaturkan sembah bakti. Kawitan itu terletak di Klungkung dekat dengan pusat kerajaan lama Gelgel. Cerita yang berakhir bahagia, tapi menyisakan misteri tentang bagaimana leluhur saya sampai terdampar di desa yang ditempati sekarang yang jaraknya kira-kira seratus tiga puluh kilometer dari kawitannya. Bapak saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini.
Pada saat pulang setahun yang lalu, saya sempat menjemput nenek dalam rangka menyaksikan upacara untuk anak kedua kami. Selama perjalanan menembus rimba Bali barat yang sekarang hampir gundul, nenek bercerita bagaimana asal muasal keluarga kami sampai ada di desa yang sekarang. Nenek bilang dia mendapat kisah ini dari orang lain. Dengan kata lain sumbernya tidak jelas. Jadi pada waktu itu saya sedikit banyak meragukan kebenarannya.
Kisahnya dimulai dari kunjungan raja Mengwi ke Klungkung untuk menghadap raja Klungkung. Tidak disangka, selama di Klungkung sang raja jatuh hati pada seorang gadis pedagang telur. Singkat cerita terjadi kisah kasih diantara mereka sampai si gadis pedagang telur hamil. Si raja Mengwi tidak mau menikahi si gadis, tetapi tetap mengakui anak yang dikandungnya sebagai anaknya. Tak lama kemudian lahirlah seorang anak laki-laki.
Belasan tahun kemudian, saat si anak beranjak dewasa, raja Mengwi memerintahkannya pergi ke Jembrana untuk mengambil alih kekuasaan dari raja setempat. Raja Klungkung yang mendukung aktivitas ini memberikan beberapa orang prajurit terbaiknya untuk mengawal anak raja Mengwi. Diantara pengawal itulah terdapat seorang prajurit dari klan Pasek yang bersenjatakan tulup dan tinggal di dekat Gelgel. Karena bersenjatakan tulup, oleh prajurit yang lain klan ini biasa disebut Pasek Tulup.
Dari Jembrana, para prajurit pengiring ini menyebar dan masing-masing membabat hutan dan membuka desa-desa satelit. Maka itu tinggallah anak keturunan si Pasek Tulup di desa yang saat ini ditempati oleh keluarga besar saya.
Bagi saya cerita ini memang logis, tapi tetap tidak bisa dipercaya sebagai sebuah sejarah mengingat tidak ada catatan dengan angka-angka tahun yang pasti. Sedangkan satu-satunya peninggalan arkeologis yang ada adalah sebuah pura Panti yang menurut nenek saya diusung oleh para keturunan prajurit yang berasal dari kerajaan Klungkung itu. Sejauh itu saya tidak pernah berniat mencari referensi. Mungkin juga karena tidak tahu harus mencari referensi kemana.
Lain cerita, minggu lalu saat ke toko buku untuk membeli sampul, saya melihat sebuah buku tentang kerajaan Mengwi. Langsung saya beli, semata-mata hanya karena ingin tahu lebih banyak tentang sejarah Bali. Buku itu berjudul The Spell of Power – sejarah Politik Bali 1650-1940, hasil riset seorang Belanda bernama Henk Schulte Nordholt. Eh, tak disangka didalam buku itu diulas sedikit tentang anak raja Mengwi yang ditugaskan ke Jembrana, persisi seperti cerita nenek saya.
Suatu ketika, kakeknya Bapak saya itu ditangkap Belanda di sebuah desa yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari rumahnya. Gara-garanya dia mencuri sapi di desa itu. Tidak jelas apakah dia ditahan atau langsung dilepaskan Belanda. Cerita-cerita tentang beliau tidak ada yang lengkap, soalnya saat saya klarifikasikan kepada anaknya alias kakek saya, yang terakhir ini tidak mau menjawab. Bahkan dia terkesan tidak mau membahas tentang ayahnya itu. Maka saya simpulkan bahwa hubungan ayah-anak ini tidaklah berjalan baik, penyebabnya ya sudah pasti karena ayahnya tidak pernah ada dirumah karena sibuk dengan judi, perkelahian dan aksi garong, disamping itu karena istrinya banyak maka anak-anaknya juga banyak. Walhasil susah bagi dia untuk mendapatkan perhatian ayahnya.
Tapi satu hal yang agak membuat saya terkesan adalah saat Bapak berkata bahwa kakeknya itu banyak menghabiskan uangnya untuk menelusuri silsilah keluarganya. Alias mencari dimana kawitannya (berasat dari kata “wit” yang berarti asal). Dan akhirnya memang beliau berhasil menemukan kawitannya dan datang kesana untuk menghaturkan sembah bakti. Kawitan itu terletak di Klungkung dekat dengan pusat kerajaan lama Gelgel. Cerita yang berakhir bahagia, tapi menyisakan misteri tentang bagaimana leluhur saya sampai terdampar di desa yang ditempati sekarang yang jaraknya kira-kira seratus tiga puluh kilometer dari kawitannya. Bapak saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini.
Pada saat pulang setahun yang lalu, saya sempat menjemput nenek dalam rangka menyaksikan upacara untuk anak kedua kami. Selama perjalanan menembus rimba Bali barat yang sekarang hampir gundul, nenek bercerita bagaimana asal muasal keluarga kami sampai ada di desa yang sekarang. Nenek bilang dia mendapat kisah ini dari orang lain. Dengan kata lain sumbernya tidak jelas. Jadi pada waktu itu saya sedikit banyak meragukan kebenarannya.
Kisahnya dimulai dari kunjungan raja Mengwi ke Klungkung untuk menghadap raja Klungkung. Tidak disangka, selama di Klungkung sang raja jatuh hati pada seorang gadis pedagang telur. Singkat cerita terjadi kisah kasih diantara mereka sampai si gadis pedagang telur hamil. Si raja Mengwi tidak mau menikahi si gadis, tetapi tetap mengakui anak yang dikandungnya sebagai anaknya. Tak lama kemudian lahirlah seorang anak laki-laki.
Belasan tahun kemudian, saat si anak beranjak dewasa, raja Mengwi memerintahkannya pergi ke Jembrana untuk mengambil alih kekuasaan dari raja setempat. Raja Klungkung yang mendukung aktivitas ini memberikan beberapa orang prajurit terbaiknya untuk mengawal anak raja Mengwi. Diantara pengawal itulah terdapat seorang prajurit dari klan Pasek yang bersenjatakan tulup dan tinggal di dekat Gelgel. Karena bersenjatakan tulup, oleh prajurit yang lain klan ini biasa disebut Pasek Tulup.
Dari Jembrana, para prajurit pengiring ini menyebar dan masing-masing membabat hutan dan membuka desa-desa satelit. Maka itu tinggallah anak keturunan si Pasek Tulup di desa yang saat ini ditempati oleh keluarga besar saya.
Bagi saya cerita ini memang logis, tapi tetap tidak bisa dipercaya sebagai sebuah sejarah mengingat tidak ada catatan dengan angka-angka tahun yang pasti. Sedangkan satu-satunya peninggalan arkeologis yang ada adalah sebuah pura Panti yang menurut nenek saya diusung oleh para keturunan prajurit yang berasal dari kerajaan Klungkung itu. Sejauh itu saya tidak pernah berniat mencari referensi. Mungkin juga karena tidak tahu harus mencari referensi kemana.
Lain cerita, minggu lalu saat ke toko buku untuk membeli sampul, saya melihat sebuah buku tentang kerajaan Mengwi. Langsung saya beli, semata-mata hanya karena ingin tahu lebih banyak tentang sejarah Bali. Buku itu berjudul The Spell of Power – sejarah Politik Bali 1650-1940, hasil riset seorang Belanda bernama Henk Schulte Nordholt. Eh, tak disangka didalam buku itu diulas sedikit tentang anak raja Mengwi yang ditugaskan ke Jembrana, persisi seperti cerita nenek saya.
Henk menuliskan hal tersebut berdasarkan babad Mengwi dan salah satu babad yang ada di Jembrana. Isi kedua babad tersebut kurang lebih begini. Agung Munggu, raja Mengwi keempat yang memerintah tahun 1770-an mempunyai seorang anak diluar nikah dengan seorang wanita dari golongan Jaba (orang diluar golongan bangsawan / rakyat jelata). Tapi anak itu tetap diakui dan diberi gelar Gusti Ngurah. Selanjutnya Gusti Ngurah diperintahkan untuk pergi ke puri Jembrana dan mengambil alih kekuasaan disana. Tujuannya tak lain adalah untuk menjamin kelancaran pengawasan Mengwi terhadap Blambangan yang saat itu masih dikuasainya. Sebagai sekutu Mengwi, Dewa Agung –raja Klungkung yang paling berpengaruh di Bali- menghadiahkan beberapa orang prajurit kepada Gusti Ngurah untuk mengawal perjalanannya ke Jembrana sekaligus mendampinginya pada saat berkuasa disana.
Kaget juga rasanya saat membaca ulasan mengenai hal ini. Ternyata leluhur saya kurang lebih baru tiga ratus tahun lamanya tinggal di Jembrana. Tapi bisa dipastikan bahwa kontak antara Pasek Tulup dengan keluarga asalnya jarang bahkan mungkin tidak terjadi sama sekali. Hal ini masuk akal, mengingat pada waktu itu telekomunikasi dan transportasi belum seperti sekarang. Mungkin orang akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk menempuh perjalanan sejauh seratus tiga puluh kilometer. Melewati hutan lebat dan menyeberangi sungai-sungai terjal.
Jadi pantas saja kalau kakeknya Bapak saya harus berjuang keras untuk mencari kawitannya. Karena saya yakin beliau hanya mendapatkan cerita mengenai kawitan itu dari Bapaknya yang juga mendengar hal tersebut dari Bapaknya.
No comments:
Post a Comment