Sunday, May 17, 2009

Angels & Demons dan Bangunan Tua


Jumat minggu lalu, Angels & Demons mulai diputar di hampir seluruh bioskop di ibu kota. Penontonnya membludak. Bersyukur saya termasuk yang beruntung mendapatkan tiket dengan tempat duduk yang agak lumayan nyaman, alias tidak terlalu di depan.

Film yang diangkat dari novel ketiga Dan Brown ini, memang dibuat setelah melihat kesuksesan film Da Vinci Code. Da Vinci Code sendiri merupakan novel keempatnya. Terbitnya novel ini juga persis filmnya, alias dicetak ulang setelah novel Da Vinci Code meledak di pasaran. Sang tokoh utama dalam kedua novel dan film tersebut memang sama, yakni Robert Langdon seorang pakar simbologi dari Harvard yang diperankan oleh Tom Hanks.

Banyak orang yang merasakan kekecewaan saat menonton sebuah film yang diangkat dari novel yang kebetulan sudah dibacanya. Tapi menurut saya, untuk Angels & Demons, justru film dan novelnya tidak bisa dibandingkan. Justru sebaliknya, mereka saling melengkapi. Saya masih ingat beberapa tahun yang lalu saat saya membaca novelnya, banyak hal yang harus saya cari di Google untuk membentuk pengertian saya mengenai hal –hal yang digambarkan didalamnya. Seperti misalnya tokoh – tokoh ilmuwan atau seniman sejaman Galileo, gereja kuno, lambang paganisme, iluminati, termasuk semua hal mengenai Vatikan. Nah, pada saat nonton filmnya, semuanya tergambarkan dengan jelas. Mungkin saja hal itu menjadi jelas karena saya sudah membaca novelnya dan mencari info-info yang terkait.

Jadi, sebenarnya konspirasi iluminati di film tidak membuat saya kaget. Justru yang membuat terkejut adalah betapa hampir semua bangunan dan patung yang dibuat pada sekitar abad ke-16 dan 17 yang tersebar di kota Roma, masih ada dan terawat sampai saat ini. Kalau anda menonton film-nya, cobalah perhatikan bagaimana utuhnya patung porselin “Habakkuk and The Angel” dan “pyramid tomb” yang dibuat oleh pematung baroque Giovanni Lorenzo Bernini yang terdapat di The Chigi Chapel di gereja Santa Maria Del Popolo. Gereja beserta kedua patung itu dibuat pada sekitaran tahun 1500-an. Lihat juga patung karya Bernini yang lain, “The Ecstacy of St. Teresa” yang terdapat di Cornaro Chapel di gereja Santa Maria della Vittoria. Sekaligus juga lihat bagaimana ornamen-ornamen bernuansa baroque yang terdapat di gereja tersebut masih sangat terawat sehingga keindahannya masih dapat kita nikmati. Belum lagi sekian banyak obelisk yang tersebar di kota roma, termasuk yang terdapat di Saint Peter’s Square. Padahal obelisk itu adalah peninggalan paganisme sebelum jaman Kristen, alias sudah berumur lebih dari dua ribu tahun.

Coba kita bandingkan dengan peninggalan karya seni ataupun bangunan tua yang ada di republik ini. Saya kira tidak ada satupun yang utuh. Bangunan-bangunan peninggalan Belanda di kawasan kota, hanya hitungan jari yang utuh. Itupun yang sudah beralih fungsi menjadi museum. Sementara yang lain hancur berantakan menyisakan kekumuhan. Mungkin pemerintah tidak melihat nilai tambah yang diberikan oleh bangunan-bangunan itu. Mungkin juga masyarakat kita yang memang tidak pernah menghargai sejarah. Salah satu bukti adalah dirobohkannya Hotel Harmoni demi kelancaran lalu lintas ibukota. Padahal hotel itu adalah lambang kemajuan peradaban Batavia sekitaran awal abad ke-20. Belum lagi bukti yang lain, berupa banyaknya bangunan tua yang dirobohkan hanya karena ingin mengambil batu batanya untuk dipakai membuat bangunan di tempat lain.

Indonesia boleh bangga karena memiliki Borobudur, Prambanan dan banyak candi lain yang tersebar diberbagai daerah, terutama Jawa. Tapi mari kita cermati lagi. Borobudur saat pertama kali ditemukan sudah hampir menyerupai bukit. Artinya badan candi penuh tertimbun tanah dan tumbuhan. Prambanan tidak jauh berbeda. Hanya berupa serakan patu bata dan batu pualam yang tidak berbentuk.
Yang parah, kalau kita lihat candi-candi di Jawa Timur, meskipun terlihat agak utuh, tapi sebenarnya tidak dirawat, bahkan cenderung “dimatikan”. Ini terlihat jelas dari adanya kuburan di samping candi. Kuburan dalam arti yang sebenarnya. Jadi rupanya masyarakat sekitar menganggap kompleks candi sama seperti kompleks pemakaman. Apakah ini disengaja atau tidak saya juga tidak tahu. Cuman kalau disebelah candi ada kuburan, pertanyaannya kemudian siapa yang akan datang untuk sekedar melihat-lihat ke candi itu? Apalagi akan tergerak untuk merawatnya. Tentu saja tidak ada. Anak kecil akan ketakutan begitu melihat candi, karena dalam otaknya dia menyamakan itu dengan kuburan. Apakah memang ada pihak-pihak yang berkepentingan untuk menghancurkan bagian kejayaan masa lalu itu?

No comments:

Post a Comment