Monday, May 18, 2009

Timur Mangkuto, Agusta Bram dan Polisi Indonesia


Semula ada yang aneh rasanya saat membaca novel thriller dengan lakon seorang polisi Indonesia. Bagaimana tidak, polisi di republik ini, dengan pangkat inspektur dari reserse kriminal atau narkoba di lingkungan Polda Metro, berlaga ala James Bond. Ia memecahkan kasus pembunuhan yang rumit dengan memakai logika konspirasi dan pencarian informasi yang menegangkan. Awalnya otak waras saya menolak mentah-mentah ide ini. Katakanlah ini sebuah ide, karena tokoh polisi ini hanya ada dalam novel.

Setahu saya, sekali lagi “setahu saya”, adalah novel Negara Kelima karya ES Ito yang pertama kali mengangkat seorang tokoh polisi dalam negeri sebagai lakon jagoan. Namanya polisi itu Timur Mangkuto. Kalau tidak salah ia dari reserse kriminal bagian pembunuhan atau istilah LAPD-nya homicide. Ia polisi yang berdedikasi, jujur, bersih tanpa pernah korupsi. Tampangnya keren, badannya tinggi tegap atletis, otaknya encer dan pembawaannya selalu tenang. Dan seperti biasanya penegak hukum yang jujur, ia dikagumi kawan dan ditakuti lawan, hasilnya ia pun dijebak dan dianggap sebagai pembunuh. Jangan salah, yang dimaksud kawan dan lawan disini adalah polisi juga.

Lain lagi dengan novel Metropolis yang ditulis oleh Windry Ramadhina. Ia menggunakan Agusta Bram sebagai tokoh utama. Bram –begitu panggilannya- adalah seorang inspektur polisi dari reserse Narkoba di Polda Metro. Berotak cemerlang dengan tampang lumayan. Berdedikasi tinggi sampai-sampai menyita kehidupan pribadinya. Dia terkenal sebagai polisi yang sering melanggar prosedur dalam menyelesaikan sebuah kasus, tapi instingnya selalu tepat. Dan yang paling hebat adalah dia polisi yang bersih, karena tetap mampu menjaga jarak dengan para gembong pengedar obat-obatan di Jakarta. Bram hanya mau melepaskan buruannya apabila buruannya memberi informasi mengenai buruan yang lebih besar lagi.

Begitulah seorang polisi di kedua novel tadi. Coba sekarang lihat ke realita yang ada. Saya pikir citra polisi sudah hamcur lebur bak papan gypsum terendam air. Slogan “polisi cinta damai” sangat melekat di kalangan pengemudi ibu kota. Coba saja kalau anda melanggar lalu lintas, terus si stop polisi. Anda cukup bilang “damai Pak”, maka semua beres. Tarif damai cuma lima puluh ribu untuk mobil pribadi dan dua puluh ribu untuk taksi. Tapi tetap saja kita akan merasa kesal. Ya jelas saja kesal, soalnya kita sering kali merasa dijebak oleh polisi lalu lintas. Mereka bukannya mengatur lalu lintas agar tertib, malah sengaja menunggu kita melakukan kesalahan agar bisa memberi tilang. Kondisi ini diperparah lagi dengan kacau rambu-rambu di jalan yang katanya merupakan tanggung jawab Dinas Perhubungan.

Polisi di polsek juga tidak jauh berbeda. Pernah suatu kali karena salah pengertian maka terjadi pemukulan di kompleks. Yang dipukul tidak terima dan mengadu ke Polsek. Akibatnya si pemukul langsung dibawa. Meskipun akhirnya perkara diselesaikan secara kekeluargaan, tapi si pemukul tidak juga boleh keluar dari polsek. Ternyata usut punya usut, itu orang harus di tebus sekian juta. Plus salam tempel sani-sini kepada polisi-polisi yang lagi piket. Walah. Kalau polsek aja begitu, bisa dibayangkan pejabat-pejabat polisi mulai dari polres, polda sampai mabes. Apalagi perkara yang ditangani adalah perkara-perkara yang melibatkan pengusaha dan pejabat kaya raya, kira-kira berapa rupiah ya dana bebas pajak yang dialokasikan untuk kantong polisi.

Seorang trainer yang juga auditor BPKP pernah bercerita begini. Ada seorang pejabat yang berhasil menggelapkan uang negara sekitaran sembilan milyar. Kemudian saat ditangkap, diperiksa sampai proses pengadilan, dia membagi-bagikan uangnya kepada petugas yang terkait, mulai dari polisi, pengacara, jaksa sampai hakim. Apa yang terjadi kemudian?, dia bebas dengan satu setengah milyar masih tersisa dikantongnya. Huahahahaha. Benar-benar sebuah komedi tapi miris menyedihkan. Kata seorang teman, sebuah kawasan di selatan Jakarta banyak dihuni oleh polisi. Menurut dia rumah-rumah itu besar dengan luas tanah minimal tiga ratus meter. Garasi untuk menampung dua mobil katanya sudah standar. Mobil ketiga atau keempat akan meluber didepan garasi. Biasanya satu atau dua dari mobil-mobil itu adalah buatan Eropa. Saat saya tebak bahwa pangkat polisi-polisi itu pasti tinggi, teman itu malah tertawa, terus dia bilang yang tinggal disitu kebanyakan hanya polisi pangkat rendahan.

Jadi kalau sudah begini, akuratkah observasi yang dilakukan ES Ito dan Windry saat mereka mengangkat seorang polisi sebagai tokoh utama novelnya? Saya percaya bahwa satu dua orang polisi jujur dan berdedikasi pasti masih ada diantara sekian ribu yang korup. Harapan saya, mudah-mudahan dengan diangkatnya polisi sebagai tokoh utama novel, maka polisi-polisi yang ada saat ini akan beradaptasi dan menyesuaikan dengan citra baru ini. Dengan begitu, semoga tidak lama lagi akan ada banyak polisi ala “Sersan Hunter” di negeri ini.

No comments:

Post a Comment