
Dirk Pitt -seorang agen ala James Bond yang menjadi tokoh utama novel – novel karya Clive Cussler- dalam salah satu petualangan heroiknya harus berjuang keras untuk menghancurkan pengusaha berlian asal australia yang ingin membuat kacau balau pasar batu permata dan khususnya menjatuhkan De Beers yang merupakan pesaing utamanya. Yang membuat Dirk Pitt terlibat dalam kasus ini adalah karena adanya kematian masal pada manusia dan hewan-hewan yang ada disekitar pacific sampai antartik. Penyelidikan yang dilakukannya membawanya pada temuan bahwa penyebab semua kematian itu tak lain adalah proses penambangan permata yang dilakukan oleh pengusahan tadi.
Apa yang menarik dari cerita imajinasi Clive Cussler itu adalah betapa mahalnya harga sebuah batu berlian. Kalau mau dipandang enteng dan dipikir secara sederhana, hal ini sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sebongkah batu bisa berharga jutaan bahkan milyaran dollar. Terlepas dari proses pencariannya yang memakan biaya besar karena menggunakan teknologi mutakhir ataupun proses pemotongannya yang menggunakan laser, saya kira persediaan permata mentah didalam tanah pasti berlimpah. Coba hitung banyaknya gunung berapi di bumi yang menjadi tempat terbentuknya batu bakal berlian itu, maka manusia tidak akan pernah kekurangan pasokan. Cuman memang De Beers beserta kartelnya yang membuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah berlian itu sesuai yang langka dan sangat bernilai bagi manusia.
Herannya teori batu itu mahal sepertinya juga berlaku untuk almarhum kakek saya. Memang benar, beliau semasa hidupnya dulu sangat mengagumi bahkan cenderung mencintai batu. Bagaimana tidak, setiap kali melihat batu mengkilap langsung akan dipungut terus dibawa pulang. Ini sering kali terjadi pada waktu dia sedang menjala ikan di pinggiran laut selatan dekat rumah. Disela-sela mengamati ombak, mata rabunnya pasti sempat memperhatikan pasit tempatnya berpijak. Tak lama kemudian sebongkah batu sudah ada digenggamannya, diangkat tinggi-tinggi ke langit sambil kepalanya mendongak mengamati guratan dipermukaannya. Siang harinya kegiatan ini berlanjut, tapi tidak cuma sebatas mengamati saja. Sebuah botol bir besar bekas, cawan kecil berisi air bersih dan kain lap bersih telah menemaninya. Dengan posisi duduk bersila tegak mirip penganut yoga, kakek mulai menggosokan batu temuannya dengan dinding botol bir dan sesekali dilap dan dicelupkan kedalam air untuk membersihkannya. Biasanya, dengan wajah serius kakek akan menerangkan perihal batu-batu itu. Yang ini namanya batu anu, gunanya untuk membuat pemiliknya menjadi begitu. Yang itu namanya batu anu, akan membuat pemiliknya menjadi begini. Tak heran jika warisan paling berharga untuk cucu-cucunya adalah deretan batu mentah, setengah jadi, bahkan ada yang sudah jadi cincin. Tentu saja cucu-cucunya senang menerimanya, tapi suka risih kalau memakainya.
Pernah suatu kali adiknya saya pulang dari Italia dan membawakan Kakek oleh-oleh yang membuatnya sangat gembira. Oleh-oleh itu tak lain dan tak bukan adalah batu. Berbagai bentuk, berbagai warna, berbagai tekstur dan berbagai ukuran. Saya tanya adik saya dimana dia dapatkan batu-batu itu, katanya dari orang gypsi yang jualan di pinggir jalan dekat pelabuhan. Harga satu batu mulai dari dua dollar sampai 10 dollar. Saya tidak bisa menahan tawa. Gak apa-apalah yang penting yang dikasi senang.
Setelah saya ingat-ingat, tidak pernah sekalipun kakek menerangkan bahwa ada batu dengan harga yang begitu mahal yang bernama berlian. Atau mungkin dia tidak tertarik dengan batu yang satu ini. Tapi setelah dipikir lagi, jelas bukan karena harganya yang mahal yang membuat kakek tidak tertarik. Menurut saya hal ini lebih dikarenakan perbedaan dalam memberikan penilaian terhadap berharganya sesuatu batu. Dan saya yakin kakek tidak akan merasakan getaran apa-apa jika belaiau menggenggam berlian, meskipun dengan duduk bersila disertai pemusatan pikiran dan ucapan mantra-mantra. Karena memang berlian dibuat untuk memuaskan kebutuhan jasmani manusia jaman sekarang. Alias menjadi lambang gengsi bagi kaum berduit saat ini. Sedangkan bagi kakek, batu bermakna jauh lebih dalam. Menjadi pelengkap kebutuhan rohaninya dan memberikan ketentraman saat memakainya. Hmmm, bagaimana kira-kira kondisinya saat cucu saya nanti dewasa ya.
Apa yang menarik dari cerita imajinasi Clive Cussler itu adalah betapa mahalnya harga sebuah batu berlian. Kalau mau dipandang enteng dan dipikir secara sederhana, hal ini sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sebongkah batu bisa berharga jutaan bahkan milyaran dollar. Terlepas dari proses pencariannya yang memakan biaya besar karena menggunakan teknologi mutakhir ataupun proses pemotongannya yang menggunakan laser, saya kira persediaan permata mentah didalam tanah pasti berlimpah. Coba hitung banyaknya gunung berapi di bumi yang menjadi tempat terbentuknya batu bakal berlian itu, maka manusia tidak akan pernah kekurangan pasokan. Cuman memang De Beers beserta kartelnya yang membuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah berlian itu sesuai yang langka dan sangat bernilai bagi manusia.
Herannya teori batu itu mahal sepertinya juga berlaku untuk almarhum kakek saya. Memang benar, beliau semasa hidupnya dulu sangat mengagumi bahkan cenderung mencintai batu. Bagaimana tidak, setiap kali melihat batu mengkilap langsung akan dipungut terus dibawa pulang. Ini sering kali terjadi pada waktu dia sedang menjala ikan di pinggiran laut selatan dekat rumah. Disela-sela mengamati ombak, mata rabunnya pasti sempat memperhatikan pasit tempatnya berpijak. Tak lama kemudian sebongkah batu sudah ada digenggamannya, diangkat tinggi-tinggi ke langit sambil kepalanya mendongak mengamati guratan dipermukaannya. Siang harinya kegiatan ini berlanjut, tapi tidak cuma sebatas mengamati saja. Sebuah botol bir besar bekas, cawan kecil berisi air bersih dan kain lap bersih telah menemaninya. Dengan posisi duduk bersila tegak mirip penganut yoga, kakek mulai menggosokan batu temuannya dengan dinding botol bir dan sesekali dilap dan dicelupkan kedalam air untuk membersihkannya. Biasanya, dengan wajah serius kakek akan menerangkan perihal batu-batu itu. Yang ini namanya batu anu, gunanya untuk membuat pemiliknya menjadi begitu. Yang itu namanya batu anu, akan membuat pemiliknya menjadi begini. Tak heran jika warisan paling berharga untuk cucu-cucunya adalah deretan batu mentah, setengah jadi, bahkan ada yang sudah jadi cincin. Tentu saja cucu-cucunya senang menerimanya, tapi suka risih kalau memakainya.
Pernah suatu kali adiknya saya pulang dari Italia dan membawakan Kakek oleh-oleh yang membuatnya sangat gembira. Oleh-oleh itu tak lain dan tak bukan adalah batu. Berbagai bentuk, berbagai warna, berbagai tekstur dan berbagai ukuran. Saya tanya adik saya dimana dia dapatkan batu-batu itu, katanya dari orang gypsi yang jualan di pinggir jalan dekat pelabuhan. Harga satu batu mulai dari dua dollar sampai 10 dollar. Saya tidak bisa menahan tawa. Gak apa-apalah yang penting yang dikasi senang.
Setelah saya ingat-ingat, tidak pernah sekalipun kakek menerangkan bahwa ada batu dengan harga yang begitu mahal yang bernama berlian. Atau mungkin dia tidak tertarik dengan batu yang satu ini. Tapi setelah dipikir lagi, jelas bukan karena harganya yang mahal yang membuat kakek tidak tertarik. Menurut saya hal ini lebih dikarenakan perbedaan dalam memberikan penilaian terhadap berharganya sesuatu batu. Dan saya yakin kakek tidak akan merasakan getaran apa-apa jika belaiau menggenggam berlian, meskipun dengan duduk bersila disertai pemusatan pikiran dan ucapan mantra-mantra. Karena memang berlian dibuat untuk memuaskan kebutuhan jasmani manusia jaman sekarang. Alias menjadi lambang gengsi bagi kaum berduit saat ini. Sedangkan bagi kakek, batu bermakna jauh lebih dalam. Menjadi pelengkap kebutuhan rohaninya dan memberikan ketentraman saat memakainya. Hmmm, bagaimana kira-kira kondisinya saat cucu saya nanti dewasa ya.
No comments:
Post a Comment