Monday, May 4, 2009

Petani Kopi Sumatera Vs Starbucks


Siapa yang tidak tahu Starbucks? Tidak ada seorang pun yang mau mengakui kalau dia tidak tahu Starbucks. Minimal pura-pura tahu lah. Karena kalau ngaku tidak tahu pasti akan dianggap nggak gaul, kuper, ndeso, katrok dan sebangsanya. Pertanyaan berikutnya, apakah pernah membeli kopi di Starbucks? Kalau jawaban anda tidak pernah, jangan terus menutup tulisan ini yah. Soalnya menurut Tantowi Yahya, membaca itu bisa menambah pengetahuan. Tapi kalau yang dibaca hasil perenungan macam begini, menambah pengetahuan juga nggak yah?. Untuk menjawabnya, coba saja baca terus sampai habis, hehehehehe….

Nah, ini pertanyaan khusus untuk anda yang pernah membeli kopi di Starbucks “pernahkah anda merenungkan seperti apa proses pembuatan kopi Starbucks itu, mulai dari penanaman pohon kopi, pemetikan biji kopi, roasted sampai blended?”. Nah, ini yang seru. Setahu saya, Amerika Serikat yang merupakan negara tempat lahirnya Starbucks, tidak mempunyai kebun kopi semeter pun. So, darimana datangnya biji kopi Starbucks yang kata orang aroma dan rasanya mantap itu? Ya, tentu saja dari negara-negara perkebunan kopi yang tersebar mulai dari Amerika Selatan, Afrika, Arab, Asia sampai Oceania. Dan tidak salah lagi, Indonesia termasuk salah satu supplier terbesar yang memasok biji kopi untuk Starbucks. Starbucks memang membeli kopi dari petani di Sumatera dan Nusa Tenggara Timur. Apakah Starbuck membeli secara langsung atau memakai perantara, saya tidak tahu. Apakah membeli dengan harga tinggi atau harga rendah, kalau itu sudah pasti jawabannya, mengingat yang namanya petani dari dulu sampai sekarang tetap saja orang susah.

Coba diingat kembali, berapa harga satu cangkir kopi di Starbucks? Kata orang amerika sih cuman dua dollar. Tapi di Indonesia rata-rata harganya antara dua puluh dua ribu sampai dua puluh tujuh ribuan plus PPN 10%. Apa yang kita dapatkan dengan harga kopi selangit itu? Kalau yang jawab orang marketing, maka jawabannya pasti experience. Katanya kita tidak hanya membeli produk, tetapi membeli pengalaman minum kopi di kedai modern yang dilengkapi wi-fi. Orang-orang yang duduk disana terlihat cosmo abis dengan laptop terbuka disamping cangkir kopinya, disebelahnya tentu saja ipod yang earphone-nya menyumpal kuping. Bukankah anda juga ingin sekali ada disana?. Kalau yang ditanya adalah seorang Barista-nya Starbucks, dia akan bilang kalau Starbucks itu memiliki cita rasa kopi nomor satu, yang dihasilkan dari proses blended yang telah terbukti disukai banyak orang dari semua ras manusia, baik itu bule, negro, latin, melayu sampai chinesse. Biar dia berkulit putih, merah, hitam, kuning, sawo matang, pokoknya semua mengatakan enak.

So, seperti apa kedai kopi umumnya di Indonesia. Pasti yang terbanyang adalah gubuk bambu dengan dinding dari gedek dan atap seng. Tempat duduknya adalah kursi panjang yang bisa diduduki empat sampai lima orang. Dan kopinya, pasti cuman ada kopi tubruk hitam yang disajikan dalam gelas tinggi tebal yang ada pegangannya. Rasa kopinya ada dua, terlalu manis atau kurang gula. Rasa ini terlalu dipengaruhi oleh kondisi psikologis penjualnya. Kalau dia sedang gembira, maka rasa kopinya akan manis, tapi kalalu dia lagi sewot maka bisa dipastikan rasa kopinya bakalan amburadul.

Pertanyaan utamanya sekarang adalah tidakkah ada manusia Indonesia yang katanya jenius-jenius itu mampu melakukan sesuatu seperti Howard Schultz? Sekarang sudah banyak muncul kedai kopi lokal tapi memang belum ada yang bisa setenar Starbucks. Mudah-mudahan tiga atau lima tahun mendatang kedai-kedai kopi lokal ini sanggup sejajar dengan Starbuck. Tapi yang paling penting adalah semoga peningkatan industri perkedaian kopi mampu meningkatkan kesejahteraan petani kopi. Meskipun Starbucks mengklaim bahwa mereka telah menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk memberikan beasiswa bagi petani kopi di Sumatera, di negeri ini tetap saja petani selalu menjadi objek penderita.

Terakhir, memang harus kita akui bahwa orang bule itu ternyata lebih pintar cari duit dibanding orang Indonesia. Setuju?

No comments:

Post a Comment