
Samar-samar saya masih ingat waktu pertama kali melihat seorang wanita menyetir mobil. Pemandangan itu cukup memberi kesan bagi saya. Mungkin anda bertanya, pemandangan gitu aja kok bisa berkesan? Ya karena itu terjadi tiga puluh tahun yang lalu, disebuah kota kabupaten kecil yang jalan rayanya jarang dilalui mobil. Mungkin kalau saya tinggal di kota besar, hal itu tidak akan berkesan sama sekali. Apalagi kalau pada dasawarsa pertama milenium ketiga ini, melihat wanita menyetir pasti tidak aneh lagi. Yang aneh justru kalau mendengar ada wanita yang tidak bisa menyetir. Jangankan Cuma mobil, wanita nyetir bus sampai helicopter dan pesawat terbang juga terlihat biasa saja.
Tidak berselang berapa lama setelah melihat wanita yang menyetir, ada pekerjaan pelebaran jalan raya didepan rumah orang tua saya. Suatu siang, dari teras rumah saya mengamati beberapa orang yang bekerja disana. Mengangkut pasir dan kerikil dan menebarkannya untuk meninggikan permukaan jalan. Kembali saya melihat pemandangan yang berkesan. Beberapa wanita mengangkut ember berisi pasir diatas kepalanya dengan bantuan handuk sebagai penyangga. Disebelahnya, dua orang laki-laki sedang memanaskan drum aspal dengan menggunakan kayu bakar dalam tungku batu bata. Sementara beberapa laki-laki lain juga sibuk mengangkut dan meratakan pasir dan kerikil. Waktu itu saya heran, karena untuk pertama kalinya saya melihal wanita ikut dalam pekerjaan kasar yang biasanya dilakukan laki-laki.
Bulan April lalu, saat radio-radio ibu kota sibuk mendiskusikan emansipasi dalam kaitannya dengan perayaan hari Kartini, kenangan tentang wanita menyetir mobil dan wanita pengangkut pasir itu kembali hadir. Wanita yang nyetir dulu itu jelas-jelas sebuah emansipasi bagi saya. Tapi bagaimana dengan wanita yang bekerja mengangkut pasir di proyek perbaikan jalan? Otak saya menolak membenarkan bahwa ini juga emansipasi. Memang benar bahwa wanita itu mencapai kesetaraan dengan pria lain yang mengangkut pasir dan kerikil. Tapi tetap saja terasa ada yang salah.
Setelah direnungkan di kamar mandi, akhirnya saya mendapatkan pencerahan. Emansipasi (dalam pengertian persamaan kesempatan mendapatkan pekerjaan bagi wanita) seharusnya mengarah ke hal-hal yang sifatnya positif. Dalam artian pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tingkat keahlian tinggi atau tingkat pendidikan tinggi. Karena pada kenyataannya, menurut saya tidak pernah terdapat pembedaan antara wanita dan pria dalam karir. Kalau wanita lebih pintar atau lebih mampu, pasti dia akan memperoleh kesempatannya.
Tidak berselang berapa lama setelah melihat wanita yang menyetir, ada pekerjaan pelebaran jalan raya didepan rumah orang tua saya. Suatu siang, dari teras rumah saya mengamati beberapa orang yang bekerja disana. Mengangkut pasir dan kerikil dan menebarkannya untuk meninggikan permukaan jalan. Kembali saya melihat pemandangan yang berkesan. Beberapa wanita mengangkut ember berisi pasir diatas kepalanya dengan bantuan handuk sebagai penyangga. Disebelahnya, dua orang laki-laki sedang memanaskan drum aspal dengan menggunakan kayu bakar dalam tungku batu bata. Sementara beberapa laki-laki lain juga sibuk mengangkut dan meratakan pasir dan kerikil. Waktu itu saya heran, karena untuk pertama kalinya saya melihal wanita ikut dalam pekerjaan kasar yang biasanya dilakukan laki-laki.
Bulan April lalu, saat radio-radio ibu kota sibuk mendiskusikan emansipasi dalam kaitannya dengan perayaan hari Kartini, kenangan tentang wanita menyetir mobil dan wanita pengangkut pasir itu kembali hadir. Wanita yang nyetir dulu itu jelas-jelas sebuah emansipasi bagi saya. Tapi bagaimana dengan wanita yang bekerja mengangkut pasir di proyek perbaikan jalan? Otak saya menolak membenarkan bahwa ini juga emansipasi. Memang benar bahwa wanita itu mencapai kesetaraan dengan pria lain yang mengangkut pasir dan kerikil. Tapi tetap saja terasa ada yang salah.
Setelah direnungkan di kamar mandi, akhirnya saya mendapatkan pencerahan. Emansipasi (dalam pengertian persamaan kesempatan mendapatkan pekerjaan bagi wanita) seharusnya mengarah ke hal-hal yang sifatnya positif. Dalam artian pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tingkat keahlian tinggi atau tingkat pendidikan tinggi. Karena pada kenyataannya, menurut saya tidak pernah terdapat pembedaan antara wanita dan pria dalam karir. Kalau wanita lebih pintar atau lebih mampu, pasti dia akan memperoleh kesempatannya.
Berdasarkan analisa ini, saya menyimpulkan bahwa ternyata wanita pekerja proyek jalan tadi tidak memiliki keahlian atau pendidikan tinggi. Jadi dia terpaksa terjun ke pekerjaan itu. Jadi masalah utamanya semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, alias kondisi ekonominya lah yang mengharuskan ia bekerja. Ia mungkin tidak pernah memikirkan apa itu emansipasi. Seperti yang saya yakini bahwa wanita-wanita sukses saat ini juga tidak pernah memikirkan arti emansipasi. Karena pada kenyataannya mereka berbuat bukan demi emansipasi tapi demi kemajuan dirinya sendiri. Kalau sudah begini perlukah lagi didiskusikan masalah emansipasi? Saya pikir ini sudah basi. Wanita sudah jauh melampaui arti emansipasi. Jadi tidak perlu lagi lah diangkat-angkat masalah ini. Kalau kesimpulannya sudah begitu, buat apa lagi Menteri Pemberdayaan Perempuan (eh, kabinet pada sekarang menteri ini masih ada gak sih?). Bagi saya kementerian ini benar-benar penghinaan bagi wanita.
Dan lebih jauh lagi, semoga tidak ada lagi wanita yang minta tempat duduk saat di bus kota atau di kereta dengan berbagai alasan, kecuali hamil atau tua. Karena yang namanya persamaan seharusnya memang begitu.
No comments:
Post a Comment