Tuesday, May 12, 2009

Suap, Budaya Warisan Leluhur


Sebelum penegasan keberadaan bangsa Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, terdapat puluhan bahkan mungkin ratusan kerajaan besar dan kecil yang mendiami wilayah kepulauan Nusantara. Tentu saja dengan budaya yang berbeda-beda. Jangankan untuk kerajaan yang berbeda pulau alias dibatasi oleh laut, untuk kerajaan-kerajaan yang sepulau saja perbedaannya begitu besar. Coba saja kita amati lagi perbedaan budaya antara orang-orang yang sekarang mendiami jawa bagian timur, jawa bagian tengah dan jawa bagian barat. Atau perbedaan antara penduduk sumetera bagian utara, sumatera bagian barat dan sumatera bagian selatan.

Tapi satu hal yang sama di jaman itu dan berlaku untuk seluruh kerajaan di Nusantara bahkan dibelahan bumi yang lain, ialah penghormatan yang sangat besar bagi raja dan keluarganya. Raja dianggap sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi. Dengan demikian segala hak milik individu, bahkan termasuk jiwa dan raga rakyatnya, adalah milik raja. Maka segala yang diucapkan raja adalah perintah yang harus dilaksanakan dan segala yang diinginkannya menjadi kewajiban rakyatnya untuk memenuhi. Tapi alih-alih hal ini menjadi beban bagi rakyatnya, rasa syukur dan bangga tak terkira justru yang terjadi apabila sang rakyat mampu memenuhi keinginan rajanya. Sebuah keluarga akan luar biasa senang apabila seorang anak gadisnya dipilih menjadi selir yang ke empat puluh oleh raja. Bahkan kalau hanya bisa menjadi abdi dalem dengan tugas-tugas membersihkan keratin saja mereka sudah senang setengah mati, meskipun mungkin imbalannya tidak seberapa.

Penghormatan-penghormatan seperti ini juga diberikan kepada semua pejabat kerajaan, mulai dari pejabat tinggi yaitu patih, tumenggung, senopati sampai dengan yang paling rendah setingkat lurah prajurit (mengambil contoh tingkatan pangkat keprajuritan pada jaman Majapahit). Setiap waktu tertentu, biasanya setelah panen dilangsungkan, upeti akan dikirimkan kepada para penguasa wilayah. Tentu saja upetai akan dipersembahkan pula apabila sang penguasa datang berkunjung atau sekedar melintas di sebuah desa. Jangan salah, upeti bukan berarti pajak. Pajak tetap ada dan dipungut oleh penguasa wilayah, sementara upeti lebih merupakan pemberian yang bersifat suka rela.

Setelah republik ini berdiri, apa yang kemudian terjadi dengan budaya upeti? ternyata tumbuh lebih subur lagi. Namanya kini lebih keren (atau malah lebih jorok?) : suap. Budaya ini benar-benar klop dengan sifat rakus para pejabat negara. Mulai dari yang paling tinggi di istana sampai yang paling rendah di kantor kelurahan. Mulai dari ruangan ber-AC sampai jalan raya. Mulai dari departemen sampai ke parlemen. Mulai dari kisaran ribuan perak sampai yang milyaran rupiah. Saking sudah merakyatnya, sampai-sampai ada orang yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang wajar. Yang sering dijadikan contoh pastinya pengurusan KTP. Kalau mau contoh yang rupiahnya lebih besar dikit, kita bisa lihat dijalan raya sewaktu ada yang kena tilang. Kalau mau yang nilainya lebih besar lagi, ya tinggal baca di koran saja.

Kata pakar yang berkecimpung di bidang Risk Management, suap ini agak susah untuk diungkap. Beda dengan korupsi yang jelas buktinya --yaitu besarnya kerugian negara akibat digunakannya uang negara untuk kepentingan Pribadi— suap cenderung tidak memiliki bukti. Apalagi kalau suap kecil-kecil tapi merata seperti yang terjadi pada kantor pelayanan publik. Tentu akan susah untuk diperkarakan lewat jalur hukum. Sebabnya bukan apa-apa sih, cuman uang yang diperlukan untuk menyuap polisi, pengacara, jaksa dan hakim jauh lebih besar, hehehehehehe.

Entah sampai kapan budaya ini akan terus kita wariskan kepada anak cucu, generasi penerus yang katanya akan membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Soalnya kalau dihitung-hitung, sampai sekarang sudah beberapa kali pula saya melakukan tindakan ini dengan kesadaran tinggi. Hanya saja, rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dada. Mudah-mudahan generasi penerus kita tidak akan merasakan ganjalan seperti ini karena mereka akan berani berkata tidak pada suap.

No comments:

Post a Comment