Monday, June 1, 2009

Bali (Mencoba) Menyerang Majapahit


Sejarah mencatat dengan pasti bahwa pada tahun 1343 pasukan Majapihit yang dipimpin Adityawarman berhasil menaklukkan Bali. Hal ini terjadi tentu saja tidak terlepas dari intrik dan tipu muslihat yang dimainkan Gajah Mada untuk menjebak panglima militer Bali asal desa Blahbatuh, Kebo Iwa. Setelah penaklukan itu, rencana cerdas Gajah Mada yang lain segera dijalankan. Rencana itu tak lain adalah dengan menempatkan Sri Kresna Kepakisan sebagai pemimpin di Bali sehingga mampu meredam gejolak pemberontakan dan perlawanan rakyat Bali. Sri Kresna yang berasal dari Kediri itu dipilih karena ia merupakan anak keturunan dari penguasa kerajaan Panjalu. Hal ini juga berarti bahwa ia adalah keturunan Airlangga raja agung Kahuripan. Dan seperti juga yang ditorehkan sejarah, Airlangga adalah anak dari Prabu Udayana, raja Bali dengan Mahendradatta yang merupakan keturunan Empu Sendok dari Jawa Timur.

Tapi benarkah gejolak dan perlawanan Bali yang telah diredam tidak meninggalkan dendam? Ternyata perjalanan sejarah pada abad-abad berikutnya mencatat hal yang berbeda. Dan yang lebih menarik adalah ternyata orang merencanakan membalas dendam tersebut adalah salah satu keturunan Sri Kresna Kepakisan.

Kurang labih ceritanya begini. Segera setelah diangkat menjadi penguasa Bali, Sri Kresna Kepakisan memindahkan pusat kerajaan dari Bedahulu ke Gelgel (Klungkung). Seiring dengan berjalannya waktu, anak keturunan Sri Kresna Kepakisan mulai menyebar dan mendirikan kerajaan – kerajaan satelit yang independent dan tersebar di Bali. Semakin berjalan waktu, maka semakin jauh pula hubungan kekerabatan antar penguasa –penguasa kerjaan tersebut. Dan seperti yang dibuktikan sejarah, peperangan dan pencaplokan wilayah antar kerajaan ini terjadi begitu sering. Sampai dengan tahun 1750-an terdapat dua kerajaan besar yang bersekutu dan menguasai sebagian besar wilayah Bali. Kedua kerajaan itu adalah kerajaan Klungkung yang menguasai sebagian besar daerah Klungkung, Karangasem dan Gianyar serta kerajaan Mengwi yang menguasai wilayah Badung, Tabanan, Buleleng dan Jembrana.

Seperti yang tertera dalam Babad Mengwi, pada saat itu Mengwi dipimpin oleh Agung Alangkajeng. Setelah menguasai Jembrana dan Buleleng, dengan bantuan Dewa Agung raja Bali paling berpengaruh dari Klungkung, dan dibantu oleh sekutu-sekutunya dari kerajaan-kerajaan kecil yang lain, Alangkajeng menyerang Blambangan di ujung timur pulau Jawa. Tentu saja tidak butuh waktu lama untuk menguasai Blambangan, karena beberapa puluh tahun sebelumnya Panji Sakti dari Buleleng juga sudah pernah menguasai wilayah itu.

Yang menarik adalah setelah penyerbuan dan penaklukan terhadap Blambangan, ternyata Alangkajeng tidak langsung pulang ke Mengwi. Tetapi ia kembali mengumbar semanagt berperang prajuritnya. Tujuan kali ini tidak tanggung-tanggung, Majapahit. Ternyata Alangkajeng mempunyai obsesi untuk menyerang dan menguasai kota raja Majapahit yang terletak di Trowulan itu. Saya tidak tahu, apakah saat itu Alangkajeng memiliki informasi bahwa kota raja Majapahit sudah tidak ada lagi dan hanya menyisakan padukuhan kecil dengan sedikit penduduk yang bertani. Ataukah dia sadar betul bahwa saat itu desa Majapahit adalah bagian dari kerajaan Mataram yang sudah terpecah menjadi Kesultanan Ngoyogyakarta dan Kasunanan Surakarta dan yang notabene adalah jajahan Belanda?

Tapi yang jelas, pada saat itu telah terjadi perjalanan panjang belasan ribu tentara gabungan Mengwi dan Klungkung yang dibantu kerajaan-kerajaan sekutunya untuk mencari dan menundukkan tanah Majapahit. Perjalanan itu sekaligus merupakan perjalanan ibadah, karena Alangkajeng yang ditemani Dewa Agung menyempatkan diri mengunjungi Gunung Semeru yang dianggap sebagai salah satu gunung keramat selain Gunung Agung. Di Semeru pula Alangkajeng memperoleh anugerah keris pusaka yang menjadi lambang kekuatan Puri Mengwi.

Ternyata setelah menuruni lereng Semeru, Alangkajeng memutuskan untuk kembali ke Mengwi. Kemungkinan besar karena kerajaan Mengwi terancam diserang oleh kerajaan-kerajaan kecil saingannya. Sampai disana buyarlah angan-angan rakyat Bali untuk menundukkan Majapahit dan membuktikan sumpah Sabdo Palon dan Naya Genggong.

Atau mungkin pada saat itu memang belum waktunya sumpah mereka terbukti?

Sunday, May 31, 2009

Boedi Oetomo Tidak Berfaham Kebangsaan


Tanggal 20 Mei adalah Hari Kebangkitan Nasional. Mulai anak SD yang bersekolah di sekolah negeri gratis sampai yang bersekolah di sekolah swasta dengan spp dua juta rupiah sebulan juga tahu hal ini. Tidak cuma yang tinggal di kota-kota saja, bahkan yang tinggal dipedalaman dan masih memakai koteka pun sudah disuruh menghapalkan kapan kita harus memperangati hari kebangkitan nasional itu. Di buku-buku pelajaran sejarah atau PSPB (masih adakah?) mereka, hari kebangkitan nasional ini selalu dikaitkan dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo yang diprakarsai oleh Soetomo dan kawan-kawannya yang notabene adalah mahasiswa STOVIA pada waktu itu.

Tapi pernahkah guru-guru sejarah kita di SD untuk mengajak kita menggali lebih dalam mengenai latar belakang Boedi Oetomo dan bukan sekedar menghafal tanggal dan peristiwa apa yang terjadi? Saya yakin tidak. Seperti juga keyakinan saya bahwa Boedi Oetomo bukanlah sebuah organisasi yang berfaham kebangsaan, apalagi memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dari penjajah Belanda.

Saya sampai pada kesimpulan diatas saat melihat melihat bahwa keanggotaan Boedi Oetomo adalah untuk kaum priyayi atau bangsawan yang berdarah Jawa dan Madura. Sedangkan kita tahu persis bahwa para priyayi tersebut adalah kepanjangan tangan Belanda dalam menancapkan kuku-kuku kekuasaannya di Nusantara. Jadi tidak salah lagi bahwa ayah dari Soetomo dan kawan-kawannya pastilah para pegawai yang sangat taat pada majikan bulenya. Kalau tidak, mana mungkin anak-anak mereka diijinkan bersekolah samapi tingkat setinggi STOVIA. Kondisi yang jelas pada waktu itu adalah pemerintah kolonial selalu membatasi ruang gerak pribumi terhadap akses pengetahun dan informasi. Sekolah-sekolah, baik itu HIS, MULO ataupun yang lebih tinggi, dibuat untuk mendidik pribumi agar dapat dipekerjakan dalam bidang administrasi. Intinya untuk memenuhi kebutuhan pemerintah Belanda akan juru tulis. Jadi yang bisa bersekolah hanya mereka yang disetujui oleh Belanda. Karena itu yang mendapatkan kesempatan pasti adalah anak-anak priyayi yang memiliki hubungan dekat dengan orang-orang Belanda.

Meskipun anak-anbak priyayi itu dapat bersekolah di sekolah Belanda, namun tidak dengan serta merta mereka memiliki persamaan hak seperti umumnya teman-teman mereka yang asli Belanda. Golongan masyarakat pada waktu itu dibagi menjadi empat: Belanda Totok, Indo (campuran Belanda – Jawa), Jawa Priyayi dan Jawa bukan priyayi. Plus Cina --yang memiliki hak dan kewajiban berbeda dengan orang Belanda, Indo dan Jawa. Kalau melihat dari penggolongan itu, bisa dibayangkan bahwa priyayi-priyayi muda yang bersekolah di STOVIA pasti mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari mahasiswa Belanda, baik yang Totok ataupun Indo. Dari sanalah kemudian muncul pemikiran untuk memiliki perkumpulan yang bisa menguatkan orang-orang Jawa dan Madura ini.

Kebetulan pada saat itu pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan dimana pribumi diperbolehkan membentuk organisasi berbadan hukum. Dan organisasi berbadan hukum pribumi tersebut akan diakui setara dengan pribadi seorang Belanda. Tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para priyayi muda yang ingin mendapatkan penghormatan seperti layaknya orang Belanda.

Setelah Boedi Oetomo terbentuk, ternyata tidak ada satupun aktivitasnya yang mengarah kepada politik, jangankan berusaha mencapai kemerdekaan bangsa, diskusi mengenai kemiskinan penduduk Jawa saja tidak pernah dilakukan. Ini terbukti dari tidak adanya catatan sejarah mengenai isi pikiran para pendiri Boedi Oetomo, baik dalam bentuk tulisan di media pada waktu itu ataupun gagasan dalam diskusi-diskusi para tokoh pergerakan.

Lebih jauh lagi, kita tidak pernah tahu dengan pasti kapan organisasi itu bubar dan apa penyebabnya. Logika saya mengatakan bahwa setelah para priyayi itu lulus, mereka terlalu sibuk untuk membaktikan dirinya bagi pemerintah kolonial. Tentu saja Soetomo kemudian menjadi seorang dokter. Kemungkinan ditempatkan didaerah terpencil. Mungkin juga berpacaran dengan seorang perawat Indo. Tapi yang jelas, seorang pendiri organisasi yang katanya berfaham kebangsaan, menghilang begitu saja. Dia seolah berperan dalam mendirikan Boedi Oetomo saja, setelah itu hilang entah kemana. Menurut saya ini tidak konsisten. Karena kalau memang dia bercita-cita untuk menuntut persamaan dengan orang Belanda apalagi memerdekaan bangsanya, maka dia pasti akan terus berjuang sampai apa yang dia cita-citakan tercapai atau kalau tidak sampai dia mati.

Thursday, May 28, 2009

Gajah Mada, Orang Jawa atau Cina?


Membaca sepak terjang Gajah Mada dalam pentalogi Gajahmada tulisan Langit Kreshna Hariadi benar-benar membuat kita salut pada tokoh yang satu ini. Seorang prjurit yang menyerahkan jiwa raga untuk kebesaran negara yang dicintainya. Meniti karir dari tingkatan paling rendah yaitu prajurit, sampai mencapai puncaknya yaitu menjadi seorang patih mahamantrimukya yang memimpin jalannya pemerintahan. Jelas sekali bagaimana Gajah Mada lebih berperan dibandingkan tiga raja yang berkuasa pada jamannya, Jayanegera, Tribhuana Tunggadewi sampai Hayam Wuruk.

Tapi siapa sebenarnya Gajah Mada, tidak terungkap sama sekali. Ada spekulasi yang mengatakan bahwa Gajah Mada adalah orang Sumatera, karena kata "gajah" tidak dikenal di Jawa. Tentu saja gajah bukan hewan asli tanah Jawa, tapi diimport dari Sumatera bagian selatan. Jadi ada benarnya juga. Spekulasi lain mengatakan bahwa Gajah Mada berasal dari Dompu, Nusa Tenggara Barat. Ada juga yang percaya bahwa Gajah Mada adalah orang Dayak dari Kalimantan Barat. Tapi yang lebih banyak dipercaya tentu saja teori yang mengatakan bahwa Gajah Mada adalah orang Jawa asli. Namun tidak ada rujukan yang berarti untuk mendukung teori ini. Dan saya termasuk yang menentangnya.

Mari kita cermati lagi. Sejarah mencatat bahwa Gajah Mada berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Tetapi hal ini tidak serta merta membuktikan bahwa dia orang Jawa asli. Teorinya kurang lebih seperti ini. Seperti yang juga dicatat oleh sejarah, Pasukan Mongol yang diutus Kubilai Khan untuk datang ke Jawa dalam rangka menghukum Kertanegara berhasil dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk menghancurkan Jayakatwang. Selanjutnya Raden Wijaya berbalik menghancurkan pasukan Mongol tersebut sehingga mereka kembali ke negaranya. Namun ternyata ada sebagian dari pasukan tersebut yang tidak pulang ke Cina dan tetap tinggal di Ponorogo. Entah karena takut dihukum kaisarnya atau karena menganggap tanah Jawa lebih memberi harapan dibanding Cina.

Menurut saya, salah satu dari sisa-sisa pasukan Mongol itulah yang merupakan ayah Gajah Mada. Kemungkinan besar ia menikahi seorang perempuan jawa asli sehingga terjadi perpaduan silang darah Cina dan Jawa dalam tubuh Gajah Mada. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri fisik yang dimilikinya. Tinggi badannya lebih pendek dari tinggi badan rata-rata prajurit Majapahit pada saat itu. Matanya cenderung agak sipit dengan sorot matanya tajam. Meskipun warna kulitnya sama seperti umumnya warna kulit orang Jawa. Tentu saja otot-otot terlatih sejak kecil membuat badannya tampak gempal. Dugaan saya, tidak ada dialek atau aksen yang kentara di lidah Gajah Mada. Kemungkinan hal ini disebabkan karena sejak kecil dia sudah terbiasa berbahasa ibunya.

Selain ciri fisik, yang menguatkan dugaan saya bahwa Gajah Mada keturunan Cina adalah kerja keras dan disiplin yang dimilikinya. Menurut saya, di jawa pada jaman kerajaan dahulu, jangankan rakyat biasa, raja dan para bangsawan saja jarang sekali yang memiliki disiplin dan kerja keras yang tinggi apalagi visi yang jelas mengenai pemerintahan. Yang mereka kejar tentu saja kenyamanan. Pokoknya hidup enak dengan banyak selir. Hal ini berkebalikan dengan prinsip Gajah Mada. Coba saja kita lihat prinsip yang terkandung pada Sumpah Palapa.

Dalam sumpah itu terlihat jelas visi dan misi seorang Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara. Pertanyaannya adalah untuk apa dia ingin menyatukan Nusantara? Jawabannya adalah untuk menahan serangan dari Mongol, jika sewaktu-waktu Kubilai Khan atau penggantinya memutuskan untuk kembali menyerang Nusantara. Pertanyaan lebih lanjut, dari mana Gajah Mada bisa yakin bahwa Mongol suatu saat akan menyerang? Tentu saja karena dia besar dilingkungan Cina. Jadi dia merasakan bagaimana sisa-sisa pasukan Mongol tetap mempertahankan semangat untuk menguasai Jawa sambil menunggu kiriman pasukan dari Cina. Jadi menurut saya Sumpah Palapa bukanlah bertujuan untuk kolonisasi apalagi sampai menjajah dan merampas kekayaan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Tetapi lebih kepada penyatuan kekuatan untuk menghadapi kekuatan dahsyat yang akan datang dari arah utara, yaitu Mongol.

Sampai kematiannya di sebuah desa kecil bernama Mada di dekat Probolinggo, Gajah Mada tidak pernah tercatat memiliki keturunan. Hal ini juga merupakan bagian dari disiplinnya dalam menjalankan Sumpah Palapa. Disana dia nyatakan bahwa dia tidak akan menikmatai palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Dan bila menikmati palapa kita artikan sebagai beristirahat dan bersenang-senang, maka memiliki istri bagi Gajah Mada pastilah juga berarti beristirahat atau bersenang-senang. Hal ini lebih menguatkan lagi keyakinan saya semula bahwa Gajah Mada adalah seorang keturunan pasukan Mongol alias bukan orang Jawa asli. Karena menurut saya, jika seperti umumnya tingkah bangsawan Jawa pasti Gajah Mada sudah memiliki belasan bahkan mungkin puluhan selir sebagai hasil rampasan dari berbagai kerajaan yang ditaklukannya.

Wednesday, May 27, 2009

Asal Mula


Semasa saya kecil, Bapak saya secara sepintas lalu beberapa kali berkelakar mengenai kakeknya yang hidup sekitaran akhir tahun 1800-an. Bapak bilang kakeknya itu orang yang ditakuti. Seorang jawara sakti yang bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat sekitar, sekaligus bisa menjadi garong bagi desa-desa tetangga. Seorang penjudi yang piawai di hampir semua permainan yang ada taruhannya. Bukan cuma itu, istrinya ada empat orang. Dapat dipastikan ini terjadi bukan karena dia ganteng. Soalnya tidak ada satupun keturunan laki-lakinya, baik anak, cucu, sampai cicit yang punya wajah ganteng. Bahkan yang tampangnya “agak” lumayan saja hampir gak ada, hehehe. Kata Bapak kemungkinan keluarga istri-istri beliau itu ketakutan saat dia meminta anak gadisnya untuk dijadikan istri. Daripada terjadi yang tidak diinginkan, ya sudah anak gadisnya diserahkan sajalah.

Suatu ketika, kakeknya Bapak saya itu ditangkap Belanda di sebuah desa yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari rumahnya. Gara-garanya dia mencuri sapi di desa itu. Tidak jelas apakah dia ditahan atau langsung dilepaskan Belanda. Cerita-cerita tentang beliau tidak ada yang lengkap, soalnya saat saya klarifikasikan kepada anaknya alias kakek saya, yang terakhir ini tidak mau menjawab. Bahkan dia terkesan tidak mau membahas tentang ayahnya itu. Maka saya simpulkan bahwa hubungan ayah-anak ini tidaklah berjalan baik, penyebabnya ya sudah pasti karena ayahnya tidak pernah ada dirumah karena sibuk dengan judi, perkelahian dan aksi garong, disamping itu karena istrinya banyak maka anak-anaknya juga banyak. Walhasil susah bagi dia untuk mendapatkan perhatian ayahnya.

Tapi satu hal yang agak membuat saya terkesan adalah saat Bapak berkata bahwa kakeknya itu banyak menghabiskan uangnya untuk menelusuri silsilah keluarganya. Alias mencari dimana kawitannya (berasat dari kata “wit” yang berarti asal). Dan akhirnya memang beliau berhasil menemukan kawitannya dan datang kesana untuk menghaturkan sembah bakti. Kawitan itu terletak di Klungkung dekat dengan pusat kerajaan lama Gelgel. Cerita yang berakhir bahagia, tapi menyisakan misteri tentang bagaimana leluhur saya sampai terdampar di desa yang ditempati sekarang yang jaraknya kira-kira seratus tiga puluh kilometer dari kawitannya. Bapak saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini.

Pada saat pulang setahun yang lalu, saya sempat menjemput nenek dalam rangka menyaksikan upacara untuk anak kedua kami. Selama perjalanan menembus rimba Bali barat yang sekarang hampir gundul, nenek bercerita bagaimana asal muasal keluarga kami sampai ada di desa yang sekarang. Nenek bilang dia mendapat kisah ini dari orang lain. Dengan kata lain sumbernya tidak jelas. Jadi pada waktu itu saya sedikit banyak meragukan kebenarannya.

Kisahnya dimulai dari kunjungan raja Mengwi ke Klungkung untuk menghadap raja Klungkung. Tidak disangka, selama di Klungkung sang raja jatuh hati pada seorang gadis pedagang telur. Singkat cerita terjadi kisah kasih diantara mereka sampai si gadis pedagang telur hamil. Si raja Mengwi tidak mau menikahi si gadis, tetapi tetap mengakui anak yang dikandungnya sebagai anaknya. Tak lama kemudian lahirlah seorang anak laki-laki.

Belasan tahun kemudian, saat si anak beranjak dewasa, raja Mengwi memerintahkannya pergi ke Jembrana untuk mengambil alih kekuasaan dari raja setempat. Raja Klungkung yang mendukung aktivitas ini memberikan beberapa orang prajurit terbaiknya untuk mengawal anak raja Mengwi. Diantara pengawal itulah terdapat seorang prajurit dari klan Pasek yang bersenjatakan tulup dan tinggal di dekat Gelgel. Karena bersenjatakan tulup, oleh prajurit yang lain klan ini biasa disebut Pasek Tulup.

Dari Jembrana, para prajurit pengiring ini menyebar dan masing-masing membabat hutan dan membuka desa-desa satelit. Maka itu tinggallah anak keturunan si Pasek Tulup di desa yang saat ini ditempati oleh keluarga besar saya.

Bagi saya cerita ini memang logis, tapi tetap tidak bisa dipercaya sebagai sebuah sejarah mengingat tidak ada catatan dengan angka-angka tahun yang pasti. Sedangkan satu-satunya peninggalan arkeologis yang ada adalah sebuah pura Panti yang menurut nenek saya diusung oleh para keturunan prajurit yang berasal dari kerajaan Klungkung itu. Sejauh itu saya tidak pernah berniat mencari referensi. Mungkin juga karena tidak tahu harus mencari referensi kemana.

Lain cerita, minggu lalu saat ke toko buku untuk membeli sampul, saya melihat sebuah buku tentang kerajaan Mengwi. Langsung saya beli, semata-mata hanya karena ingin tahu lebih banyak tentang sejarah Bali. Buku itu berjudul The Spell of Power – sejarah Politik Bali 1650-1940, hasil riset seorang Belanda bernama Henk Schulte Nordholt. Eh, tak disangka didalam buku itu diulas sedikit tentang anak raja Mengwi yang ditugaskan ke Jembrana, persisi seperti cerita nenek saya.


Henk menuliskan hal tersebut berdasarkan babad Mengwi dan salah satu babad yang ada di Jembrana. Isi kedua babad tersebut kurang lebih begini. Agung Munggu, raja Mengwi keempat yang memerintah tahun 1770-an mempunyai seorang anak diluar nikah dengan seorang wanita dari golongan Jaba (orang diluar golongan bangsawan / rakyat jelata). Tapi anak itu tetap diakui dan diberi gelar Gusti Ngurah. Selanjutnya Gusti Ngurah diperintahkan untuk pergi ke puri Jembrana dan mengambil alih kekuasaan disana. Tujuannya tak lain adalah untuk menjamin kelancaran pengawasan Mengwi terhadap Blambangan yang saat itu masih dikuasainya. Sebagai sekutu Mengwi, Dewa Agung –raja Klungkung yang paling berpengaruh di Bali- menghadiahkan beberapa orang prajurit kepada Gusti Ngurah untuk mengawal perjalanannya ke Jembrana sekaligus mendampinginya pada saat berkuasa disana.

Kaget juga rasanya saat membaca ulasan mengenai hal ini. Ternyata leluhur saya kurang lebih baru tiga ratus tahun lamanya tinggal di Jembrana. Tapi bisa dipastikan bahwa kontak antara Pasek Tulup dengan keluarga asalnya jarang bahkan mungkin tidak terjadi sama sekali. Hal ini masuk akal, mengingat pada waktu itu telekomunikasi dan transportasi belum seperti sekarang. Mungkin orang akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk menempuh perjalanan sejauh seratus tiga puluh kilometer. Melewati hutan lebat dan menyeberangi sungai-sungai terjal.

Jadi pantas saja kalau kakeknya Bapak saya harus berjuang keras untuk mencari kawitannya. Karena saya yakin beliau hanya mendapatkan cerita mengenai kawitan itu dari Bapaknya yang juga mendengar hal tersebut dari Bapaknya.


Thursday, May 21, 2009

Lalat Merah Vs TNI


Saya masih ingat tokoh utama dalam novel kedua ES Ito yang berjudul Rahasia Meede, meskipun novel itu saya baca sekitaran dua tahun yang lalu. Julukannya “Lalat Merah”. Sayangnya nama aslinya saya lupa. Dia seorang tentara Indonesia dari kesatuan pasukan khusus. Tugasnya semacam intelegent yang melakukan penyamaran untuk mendapatkan informasi mengenai orang-orang yang ingin melakukan makar terhadap republik ini. Dia digambarkan sebagai orang yang cerdas dan berinsting tajam. Tentu saja dia lulusan AKABRI --entah angkatan tahun berapa--, setelah sebelumnya menamatkan pendidikan tinggi di SMA Taruna Nusantara.

Agak aneh juga rasanya membaca sebuah kisah tentang hebatnya seorang tentara Indonesia. Apalagi ditengah berbagai masalah yang menimpa TNI. Mulai dari minimnya anggaran, baku tembak dengan sesama teman, penyanderaan atasan sampai jatuhnya beberapa pesawat Hercules karena tidak layak terbang. Belum lagi saat saya suatu kali berpapasan dengan seorang tentara di jalan raya. Kesannya kok jauh dari tentara yang digambarkan di novel. Dia mengendarai motor pretelan alias beberapa bagiannya tidak ada, entah terlepas entah dengan sengaja dilepas. Tidak cuma kaca spion, tapi juga penutup samping kiri kanan dan sayap belakang. Sudah gitu, seruduk seruduk sini seenaknya, dan langsung disambung dengan melanggar lampu lalulitas. Tapi oleh polisi yang sedang jaga hal ini dibiarkan saja. Mungkin awalnya si polisi mau memberikan tilang, tapi setelah melihat celana loreng dan sepatu pdl tinggi, walhasil nyali si polisi ciut juga. Dari pada cari masalah, mending biarin aja, toh masih banyak masyarakat biasa yang akan melakukan pelanggaran dan bisa ditakut-takuti dengan tilang, mungkin begitu pikirnya.

Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden bulan Juli nanti, kita tahu ada tiga orang tentara yang bersaing. Satu orang mencalonkan diri sebagai presiden (lagi) yaitu SBY, sedangkan dua orang yang lain, Prabowo dan Wiranto, sama-sama mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Setelah membaca riwayat mereka di detik.com, berulah saya mulai mempercayai bahwa ternyata banyak tentara republik ini memang cerdas dan punya kemampuan-kemampuan yang tidak kalah dengan anggota pasukan-pasukan elit dunia, seperti Navy Seal dan Ranger-nya AS atau Commandos-nya Portugal.

Coba kita lihat SBY. Dia pernah belajar di Fort Benning, AS, tempat pendadaran para Ranger. Juga pernah training Fort Bragg, pada 82nd Airborne Division. Belum lagi pendidikan jungle warfare di Panama, serta kursus senjata di Belgia dan Jerman. Memang sih, semuanya masih dalam konteks training, tapi paling tidak kita tahu bahwa tentara kita dibekali dengan keahlian-keahlian militer tingkat dunia. Dan memang benar, pada akhirnya SBY menjadi presiden sehingga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana ilmu militer yang telah dia dapatkan, apakah masih bisa dimanfaatkan oleh TNI ataukah hilang begitu saja. Mudah-mudahan saja dia sudah membaginya kepada anak buahnya.

Kalau melihat contoh SBY, seharusnya saya bisa yakin bahwa kemampuan individu tentara kita bisa diandalkan. Tapi kalau melihat kondisi peralatan pendukung militer, rasanya sedih juga. Kapal perang kebanyakan buatan tahun 1960-an, meskipun katanya mesinnya sudah pada diganti dengan turbo. Pantas saja, angkatan laut Malaysia berani mengejek dan menantang kapal perang kita adu cepat di perairan sekitar Simpadan dan Ligitan kemarin. Bagaimana dengan pesawat tempur, bah, yang ini lebih parah lagi. Musuh tidak perlu repot-repot mengejar apalagi menembak pesawat temput Indonesia, buang-buang tenaga katanya. Cukup tunggu 15 menit, pesawat itu pasti jatuh sendiri, hehehehe. Belum lagi tidak adanya keunggulan teknologi yang mendukung. Mungkinkah tentara kita punya satelit mata-mata di luar angkasa sana yang khusus digunakan untuk memantau musuh? Atau mungkin tidak punya, dengan alasan Indonesia negara cinta damai. Jadi tidak mungkin punya musuh?

Tapi sekali lagi, saya sangat yakin dengan kemampuan individu tentara kita. Mungkin belum sehebat Rambo yang bisa membasmi satu kompi Vietkong dengan mudahnya, atau sejago James Bond yang selalu melakukan aksi dengan bantuan Aston Martin, Sony Ericson, dan seabrek alat-alat canggih yang lain. Tapi novel itu sendiri sudah mewakilinya. Karena saya percaya novel itu dibuat dengan riset mendalam dan tidak semata-mata hasil imaginasi penulisnya.

Tuesday, May 19, 2009

With or Without You


Pernah dengar lagunya U2 yang berjudul “With or Without You”?. Saya yakin, sebagian besar orang, terutama yang tumbuh pada generasi delapan puluhan dan sembilan puluhan, pasti tahu lagu terpopuler U2 yang diambil dari album The Joshua Tree itu, bahkan mungkin hafal liriknya. Nah, ngomong-ngomong soal liriknya, mungkin semua orang yakin bahwa lagu itu bercerita tentang seorang wanita. Coba perhatikan sebagian kata-katanya…And you give yourself away…..I can’t live…With or without you. Yakin lagu ini bercerita tentang wanita?. Orang sah-sah saja mau manafsirkannya seenak perut sendiri. Tapi Bono sang pentolan U2 pada suatu kesempatan mengatakan bahwa lagu ini bercerita tentang Tuhan. Nah, loh…

Saya setuju dengan Bono. Tapi menurut saya, harus ada sedikit perubahan pada liriknya agar lebih pas. Bagian yang diubah adalah…..”I can’t live”…menjadi…“I can live”. Nah, kalau liriknya dibuat begitu, jadi lebih pas kan? Hehehehehe…

Kalau direnungkan, sepertinya lebih mudah untuk menganggap Tuhan itu tidak ada dibandingkan ada. Apalagi sampai menganggap Dia ikut campur dalam kehidupan manusia. Sepertinya sangat tidak masuk akal. Dengan cara bagaimana mahluk yang namanya Tuhan itu bisa mengatur hidup manusia, bahkan alam semesta dengan segala isinya. Mengatur perputaran planet-planet. Menyuruh matahari terbit dan terbenam. Atau yang lebih detail lagi, menentukan dengan perempuan yang mana seorang laki-laki harus menjalani sisa hidupnya.

Saya yakin saat ini dibelahan bumi bagian barat sana, sebagian besar orang terutama usia belasan sampai lima puluhan, sudah tidak percaya lagi dengan adanya Tuhan. Statistik membuktikan, bahwa saat ini orang yang pergi ke tempat ibadah di benua Eropa dan Amerika rata-rata adalah anak-anak dan kakek-nenek. Mungkinkah yang tidak datang ke tempat ibadah tidak percaya keberadaan Tuhan, ataukah dia yakin Tuhan itu ada tapi tidak mau mengikuti ajaran salah satu agama dalam memuja-Nya?

Dengar-dengar, seringkali keyakinan mengenai keberadaan Tuhan muncul setelah adanya sebuah keajaiban atau mukjisat atau apalah namanya. Betulkah? Ataukah keajaiban itu hanya kebetulan belaka seperti umumnya kejadian-kejadian acak di dunia ini. Seperti juga sebuah kejadian acak dimana ada meteor yang jatuh ke bumi dengan ribuan batu pecahannya --yang karena bergesekan dengan atmosfir, menjadi panas dan mengeluarkan api-- kebetulan jatuh di kota Sodom dan Gomora?

Kalau kita mengajukan hipotesis bahwa Tuhan itu ada, kira-kira saat ini Dia sedang ngapain yah? Atau jangan-jangan Dia sedang duduk di bangku taman Suropati sambil membaca Pos Kota semata-mata untuk memastikan bahwa orang-orang yang telah dipilihnya benar-benar sudah mati terbunuh semalam. Atau mungkin seperti lagunya Joan Osbourne, bahwa Tuhan ternyata adalah seperti manusia pada umumnya, selalu naik bus kota saat pulang ke rumahnya dari tempat kerja. Atau bisa saja seperti yang diyakini sebagian besar orang, bahwa Tuhan sedang duduk di atas singgasananya di sorga. Entah dimana sorga itu berada. Bisa saya bayangkan Tuhan sedang duduk dengan dahi berkerut karena berpikir keras. Tangan kanannya pastilah menopang dagu perseginya. Sementara jari-jari tangan kirinya mengetuk-ngetuk lengan empuk singgasananya. Apa yang Dia pikirkan? Saya tebak dia sedang menyusun strategi untuk mencegah Iblis melakukan aksi berikutnya. Hehehehehe.

Pernah saya tanyakan hal-hal mengenai keberadaan-Nya ini kepada orang-orang tua di kampung, jawaban yang saya dapat adalah: “jalani saja hidup kau, tidak usah banyak tanya, suatu saat kau akan mengerti sendiri”. Busyet dah.

Monday, May 18, 2009

Timur Mangkuto, Agusta Bram dan Polisi Indonesia


Semula ada yang aneh rasanya saat membaca novel thriller dengan lakon seorang polisi Indonesia. Bagaimana tidak, polisi di republik ini, dengan pangkat inspektur dari reserse kriminal atau narkoba di lingkungan Polda Metro, berlaga ala James Bond. Ia memecahkan kasus pembunuhan yang rumit dengan memakai logika konspirasi dan pencarian informasi yang menegangkan. Awalnya otak waras saya menolak mentah-mentah ide ini. Katakanlah ini sebuah ide, karena tokoh polisi ini hanya ada dalam novel.

Setahu saya, sekali lagi “setahu saya”, adalah novel Negara Kelima karya ES Ito yang pertama kali mengangkat seorang tokoh polisi dalam negeri sebagai lakon jagoan. Namanya polisi itu Timur Mangkuto. Kalau tidak salah ia dari reserse kriminal bagian pembunuhan atau istilah LAPD-nya homicide. Ia polisi yang berdedikasi, jujur, bersih tanpa pernah korupsi. Tampangnya keren, badannya tinggi tegap atletis, otaknya encer dan pembawaannya selalu tenang. Dan seperti biasanya penegak hukum yang jujur, ia dikagumi kawan dan ditakuti lawan, hasilnya ia pun dijebak dan dianggap sebagai pembunuh. Jangan salah, yang dimaksud kawan dan lawan disini adalah polisi juga.

Lain lagi dengan novel Metropolis yang ditulis oleh Windry Ramadhina. Ia menggunakan Agusta Bram sebagai tokoh utama. Bram –begitu panggilannya- adalah seorang inspektur polisi dari reserse Narkoba di Polda Metro. Berotak cemerlang dengan tampang lumayan. Berdedikasi tinggi sampai-sampai menyita kehidupan pribadinya. Dia terkenal sebagai polisi yang sering melanggar prosedur dalam menyelesaikan sebuah kasus, tapi instingnya selalu tepat. Dan yang paling hebat adalah dia polisi yang bersih, karena tetap mampu menjaga jarak dengan para gembong pengedar obat-obatan di Jakarta. Bram hanya mau melepaskan buruannya apabila buruannya memberi informasi mengenai buruan yang lebih besar lagi.

Begitulah seorang polisi di kedua novel tadi. Coba sekarang lihat ke realita yang ada. Saya pikir citra polisi sudah hamcur lebur bak papan gypsum terendam air. Slogan “polisi cinta damai” sangat melekat di kalangan pengemudi ibu kota. Coba saja kalau anda melanggar lalu lintas, terus si stop polisi. Anda cukup bilang “damai Pak”, maka semua beres. Tarif damai cuma lima puluh ribu untuk mobil pribadi dan dua puluh ribu untuk taksi. Tapi tetap saja kita akan merasa kesal. Ya jelas saja kesal, soalnya kita sering kali merasa dijebak oleh polisi lalu lintas. Mereka bukannya mengatur lalu lintas agar tertib, malah sengaja menunggu kita melakukan kesalahan agar bisa memberi tilang. Kondisi ini diperparah lagi dengan kacau rambu-rambu di jalan yang katanya merupakan tanggung jawab Dinas Perhubungan.

Polisi di polsek juga tidak jauh berbeda. Pernah suatu kali karena salah pengertian maka terjadi pemukulan di kompleks. Yang dipukul tidak terima dan mengadu ke Polsek. Akibatnya si pemukul langsung dibawa. Meskipun akhirnya perkara diselesaikan secara kekeluargaan, tapi si pemukul tidak juga boleh keluar dari polsek. Ternyata usut punya usut, itu orang harus di tebus sekian juta. Plus salam tempel sani-sini kepada polisi-polisi yang lagi piket. Walah. Kalau polsek aja begitu, bisa dibayangkan pejabat-pejabat polisi mulai dari polres, polda sampai mabes. Apalagi perkara yang ditangani adalah perkara-perkara yang melibatkan pengusaha dan pejabat kaya raya, kira-kira berapa rupiah ya dana bebas pajak yang dialokasikan untuk kantong polisi.

Seorang trainer yang juga auditor BPKP pernah bercerita begini. Ada seorang pejabat yang berhasil menggelapkan uang negara sekitaran sembilan milyar. Kemudian saat ditangkap, diperiksa sampai proses pengadilan, dia membagi-bagikan uangnya kepada petugas yang terkait, mulai dari polisi, pengacara, jaksa sampai hakim. Apa yang terjadi kemudian?, dia bebas dengan satu setengah milyar masih tersisa dikantongnya. Huahahahaha. Benar-benar sebuah komedi tapi miris menyedihkan. Kata seorang teman, sebuah kawasan di selatan Jakarta banyak dihuni oleh polisi. Menurut dia rumah-rumah itu besar dengan luas tanah minimal tiga ratus meter. Garasi untuk menampung dua mobil katanya sudah standar. Mobil ketiga atau keempat akan meluber didepan garasi. Biasanya satu atau dua dari mobil-mobil itu adalah buatan Eropa. Saat saya tebak bahwa pangkat polisi-polisi itu pasti tinggi, teman itu malah tertawa, terus dia bilang yang tinggal disitu kebanyakan hanya polisi pangkat rendahan.

Jadi kalau sudah begini, akuratkah observasi yang dilakukan ES Ito dan Windry saat mereka mengangkat seorang polisi sebagai tokoh utama novelnya? Saya percaya bahwa satu dua orang polisi jujur dan berdedikasi pasti masih ada diantara sekian ribu yang korup. Harapan saya, mudah-mudahan dengan diangkatnya polisi sebagai tokoh utama novel, maka polisi-polisi yang ada saat ini akan beradaptasi dan menyesuaikan dengan citra baru ini. Dengan begitu, semoga tidak lama lagi akan ada banyak polisi ala “Sersan Hunter” di negeri ini.

Sunday, May 17, 2009

Angels & Demons dan Bangunan Tua


Jumat minggu lalu, Angels & Demons mulai diputar di hampir seluruh bioskop di ibu kota. Penontonnya membludak. Bersyukur saya termasuk yang beruntung mendapatkan tiket dengan tempat duduk yang agak lumayan nyaman, alias tidak terlalu di depan.

Film yang diangkat dari novel ketiga Dan Brown ini, memang dibuat setelah melihat kesuksesan film Da Vinci Code. Da Vinci Code sendiri merupakan novel keempatnya. Terbitnya novel ini juga persis filmnya, alias dicetak ulang setelah novel Da Vinci Code meledak di pasaran. Sang tokoh utama dalam kedua novel dan film tersebut memang sama, yakni Robert Langdon seorang pakar simbologi dari Harvard yang diperankan oleh Tom Hanks.

Banyak orang yang merasakan kekecewaan saat menonton sebuah film yang diangkat dari novel yang kebetulan sudah dibacanya. Tapi menurut saya, untuk Angels & Demons, justru film dan novelnya tidak bisa dibandingkan. Justru sebaliknya, mereka saling melengkapi. Saya masih ingat beberapa tahun yang lalu saat saya membaca novelnya, banyak hal yang harus saya cari di Google untuk membentuk pengertian saya mengenai hal –hal yang digambarkan didalamnya. Seperti misalnya tokoh – tokoh ilmuwan atau seniman sejaman Galileo, gereja kuno, lambang paganisme, iluminati, termasuk semua hal mengenai Vatikan. Nah, pada saat nonton filmnya, semuanya tergambarkan dengan jelas. Mungkin saja hal itu menjadi jelas karena saya sudah membaca novelnya dan mencari info-info yang terkait.

Jadi, sebenarnya konspirasi iluminati di film tidak membuat saya kaget. Justru yang membuat terkejut adalah betapa hampir semua bangunan dan patung yang dibuat pada sekitar abad ke-16 dan 17 yang tersebar di kota Roma, masih ada dan terawat sampai saat ini. Kalau anda menonton film-nya, cobalah perhatikan bagaimana utuhnya patung porselin “Habakkuk and The Angel” dan “pyramid tomb” yang dibuat oleh pematung baroque Giovanni Lorenzo Bernini yang terdapat di The Chigi Chapel di gereja Santa Maria Del Popolo. Gereja beserta kedua patung itu dibuat pada sekitaran tahun 1500-an. Lihat juga patung karya Bernini yang lain, “The Ecstacy of St. Teresa” yang terdapat di Cornaro Chapel di gereja Santa Maria della Vittoria. Sekaligus juga lihat bagaimana ornamen-ornamen bernuansa baroque yang terdapat di gereja tersebut masih sangat terawat sehingga keindahannya masih dapat kita nikmati. Belum lagi sekian banyak obelisk yang tersebar di kota roma, termasuk yang terdapat di Saint Peter’s Square. Padahal obelisk itu adalah peninggalan paganisme sebelum jaman Kristen, alias sudah berumur lebih dari dua ribu tahun.

Coba kita bandingkan dengan peninggalan karya seni ataupun bangunan tua yang ada di republik ini. Saya kira tidak ada satupun yang utuh. Bangunan-bangunan peninggalan Belanda di kawasan kota, hanya hitungan jari yang utuh. Itupun yang sudah beralih fungsi menjadi museum. Sementara yang lain hancur berantakan menyisakan kekumuhan. Mungkin pemerintah tidak melihat nilai tambah yang diberikan oleh bangunan-bangunan itu. Mungkin juga masyarakat kita yang memang tidak pernah menghargai sejarah. Salah satu bukti adalah dirobohkannya Hotel Harmoni demi kelancaran lalu lintas ibukota. Padahal hotel itu adalah lambang kemajuan peradaban Batavia sekitaran awal abad ke-20. Belum lagi bukti yang lain, berupa banyaknya bangunan tua yang dirobohkan hanya karena ingin mengambil batu batanya untuk dipakai membuat bangunan di tempat lain.

Indonesia boleh bangga karena memiliki Borobudur, Prambanan dan banyak candi lain yang tersebar diberbagai daerah, terutama Jawa. Tapi mari kita cermati lagi. Borobudur saat pertama kali ditemukan sudah hampir menyerupai bukit. Artinya badan candi penuh tertimbun tanah dan tumbuhan. Prambanan tidak jauh berbeda. Hanya berupa serakan patu bata dan batu pualam yang tidak berbentuk.
Yang parah, kalau kita lihat candi-candi di Jawa Timur, meskipun terlihat agak utuh, tapi sebenarnya tidak dirawat, bahkan cenderung “dimatikan”. Ini terlihat jelas dari adanya kuburan di samping candi. Kuburan dalam arti yang sebenarnya. Jadi rupanya masyarakat sekitar menganggap kompleks candi sama seperti kompleks pemakaman. Apakah ini disengaja atau tidak saya juga tidak tahu. Cuman kalau disebelah candi ada kuburan, pertanyaannya kemudian siapa yang akan datang untuk sekedar melihat-lihat ke candi itu? Apalagi akan tergerak untuk merawatnya. Tentu saja tidak ada. Anak kecil akan ketakutan begitu melihat candi, karena dalam otaknya dia menyamakan itu dengan kuburan. Apakah memang ada pihak-pihak yang berkepentingan untuk menghancurkan bagian kejayaan masa lalu itu?

Thursday, May 14, 2009

Kota Mati di Dekat Kali


Beberapa kali saya mengambil jalan memotong melewati kompleks di belakang sekolah Tarakanita saat mengarah dari jalan Wijaya menuju ke rumah. Rumah disana besar-besar. Jalannya juga lumayan lebar meskipun aspalnya kasar seolah terus-terusan terkikis air. Tapi yang jelas suasananya lumayan sepi. Padahal waktu itu saya lewat sore hari sekitar empatan. Setelah melewati pertigaan –kalau belok kekiri menuju ke Tarakanita, kalau belok kanan menuju ke Kampung Sawah— baru ketahuan kalau rumah-rumah besar sepanjang jalan itu tidak berpenghuni lagi. Ini terlihat jelas dari keadaan rumah yang tidak terawat. Tripleks plafon membusuk dan hancur. Kusen-kusen jendela tidak satupun yang masih ada kacanya. Tembok-tembok putih sudah berubah kuning kecoklatan. Dan yang pasti rumput tumbuh tinggi dihalaman depannya. Jalanan didepan rumah-rumah itu sudah berbahan beton dengan penambahan tinggi sekitar setengah meter.

Suatu saat saya kembali melewati kompleks itu. Cuman saat itu malam hari. Ternyata lampu jalanan tidak satupun yang menyala. Edan seramnya. Jalanan gelap gulita. Begitu menoleh kesamping kiri, terlihat deretan rumah kosong, gelap tanpa penghuni (maksudnya penghuni yang bisa dilihat dengan mata). Saat menoleh kebelakang, ternyata tidak ada orang lain yang lewat. Tidak pejalan kaki, tidak motor apalagi mobil. Busyet. Rasanya ini baru jam setengah sepuluh malam, tapi kok suasananya sudah sepi begini. Syukur akhirnya didekat belokan menuju ke gang sempit ada lampu bohlam yang menyala, memberi penerangan dengan nuansa seperti nyala api.

Setelah ngobrol dengan tetangga kiri kanan, ternyata dugaan saya benar. Kondisi kompleks itu berubah drastis setelah beberapa tahun terakhir mereka kebanjiran terus. Setahu saya tepat dibelakang kompleks terdapat lanjutan kali Krukut. Jadi setiap kali hujan deras, air dari kali selalu meluber memenuhi jalanan bahkan sampai masuk ke rumah warga. Dari tahun ke tahun ketinggian air yang masuk ke rumah warga ternyata semakin bertambah. Ujung-ujungnya, pindahlah semua orang yang bermukim disana ketempat yang lebih baik, entah dimana.

Cuman yang bikin saya bertanya-tanya, oleh pemiliknya yang sudah pergi itu akan diapakan tanah dan rumah kosongnya? Dibiarkan membusuk begitu saja? Kok sepertinya sayang banget. Tapi mau bagaimana lagi yah? Dijual, sudah pasti tidak akan laku. Meskipun dengan harga serendah-rendahnya, orang yang berpikiran sehat pasti tidak akan tertarik. Mau dipakai tempat usaha? Huahahaha, ya sama saja, mana mungkin bisa. Yang ada malah rugi dua kali, selain bangunannya rusak, barang-barang untuk usaha pasti juga akan hancur. Jadi ya sudah, dibiarkan saja melapuk sesuai kemampuan alam (dalam hal ini banjir) menghancurkannya. Dan saya yakin, dalam 5 tahun kedepan, rumah-rumah disana sudah akan rata dengan tanah. Mungkin yang tersisa cuman satu dua tiang beton bekas kolom penyangga rumah.

Kalau sudah begitu, bukankah sebaiknya pemerintah membeli tanah – tanah disana. Mumpung harganya murah, pasti akan terjangkau dengan menggunakan anggaran pemerintah yang katanya banyak di korupsi itu. Dengan menggunakan tanah yang dibeli itu, barulah dilakukan pelebaran kali, sekaigus penanaman pohon disepanjang kali. Bila perlu dibuat semacam teras yang menjadi pemisah antara kali dengan jalan atau pemukiman. Teras itu kemudian ditanami pohon dan dijadikan tanam. Lumayan kan buat rekreasi warga kota yang haus akan hiburan. Yah, kurang lebih sama lah dengan rencana pembangunan banjir kanal timur yang masih tersendat-sendat itu. Cuman yang ini sifatnya lebih kecil dilokasi tertentu saja. Terutama lokasi yang memungkinkan pemerintah membeli tanah warga dengan harga murah, karena memang tanah itu sudah tidak digunakan lagi. Setuju tidak?

Wednesday, May 13, 2009

Sex, Drug and Rock n Roll


Anda pasti sudah nonton film “Almost Famous” kan?. Kalau belum, saya akan ceritakan sedikit. Film yang mengambil setting tahun 1970-an menceritakan tentang seorang jurnalis remaja (diperankan oleh Patrick Fugit) yang ditugasi oleh majalah Rolling Stone untuk meliput sebuah group rock yang sedang naik daun bernama Stillwater. Si jurnalis --yang semula dianggap musuh karena semata-mata dia seorang jurnalis-- berhasil mengikuti perjalanan tur Stillwater dan akhirnya menjadi teman bagi band tersebut.

Sepanjang film dapat kita lihat bagaimana kehidupan Rock Star di tahun 70-an. Mulai dari suasana bus dan pesawat yang digunakan tur sampai suasana hotel tempat mereka menginap. Tidak ketinggalan gemuruh penonton yang berteriak-teriak saat mereka melakukan pertunjukan. Tapi yang paling sering terlihat adalah suasana hura-hura. Para personil band selalu mabuk dan selalu dikelilingi wanita. Ada juga diperlihatkan juga bagaimana mereka dalam keadaan setengah sadar karena pengaruh obat terlarang. Wah, pokoknya Sex, Drug and Rock n Roll.

Di film yang sama, sekilas juga diperlihatkan bagaimana Stillwater bertemu dengan band rock lain seperti The Who atau Led Zeppelin baik di hotel ataupun dibelakang panggung setelah pertunjukan. Dan, dari setting adegannya, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa band rock yang lain juga dalam kondisi “suasana” yang sama dengan Stillwater, yaitu selalu dalam keadaan mabuk, setengah sadar karena pengaruh obat dan pasti selalu ditemani wanita-wanita yang menganggap mereka keren.

Memasuki tahun 80-an, ternyata stempel “sex, drug and rock n roll” lebih tebal lagi melekat pada hampir semua band rock atau heavy metal yang ada. Bagaimana tidak, keluar masuk panti rehabilitasi sudah menjadi kebiasaan para personilnya. Kalau bukan karena kecanduan alkohol pastilah karena narkoba. Mereka juga sering berurusan dengan polisi karena menghancurkan properti hotel tempat mereka menginap. Menurut pengakuannya, Nikki Six -bassist Motley Crue- pernah mati suri selama empat menit karena overdosis. Sedangkan Gene Simmons, pentolan group Kiss mengaku kalau dia telah tidur dengan lebih dari 3000 wanita. Busyet. Kalau sudah begini bagaimana stempel tadi bisa dihilangkan yah.

Dalam penilaian saya, “kondisi” group rock atau heavy metal, apapun nama groupnya, juga sama persisi seperti kesimpulan diatas. Tapi setelah saya menonton DVD live sebuah band asal Tampa - Florida: Kamelot, penilaian saya jadi agak melunak. Dalam DVD itu terdapat sedikit dokumenter tentang kegiatan sehari-hari personil Kamelot. Disana ditunjukkan suasana rumah Thomas Youngblood sang gitaris. Ternyata itu rumah di daerah sub urban itu tertata dengan sangat rapi seperti keluarga amerika kelas menengah lainnya. Ada kebun bunga di depan dan samping rumah. Ada ruang bacanya. Ada ruang keluarga lengkap dengan piano. Dan yang mengejutkan ada kucing yang menjadi peliharaannya. Sepertinya kehidupan Thomas dengan istri dan anak perempuannya berjalan sangat sangat normal.

Lain lagi dengan pengakuan Gary Wehrkamp. Menanggapi pertanyaan mengenai mengapa Shadow Gallery tidak pernah melakukan live show apalagi tour, sang Vokalis sekaligus gitaris group progressive metal ini mengatakan bahwa seluruh personil Shadow Gallery memiliki rutinitasnya masing-masing. Mulai dari mengurus pekerjaan, keluarga, binatang peliharaan sampai tagihan termasuk cicilan rumah. Nah loh. Bagaimana mungkin seorang rocker menganggap karier bermusik sebagai kegiatan paruh waktu. Sepertinya tidak masuk akal. Tapi itulah kenyatannya. Ternyata mereka semua memilki kehidupan nyata yang wajar seperti orang-orang kebanyakan. Bermusik bagi mereka adalah kegiatan nomor sekian setelah keluarga dan pekerjaannya. Meskipun telah enam album mereka keluarkan dan laku di pasar.

So, berkaca dari Kamelot dan Shadow Gallery, toh ternyata tidak semua rock star atau band heavy metal harus mengikuti aturan Sex, Drug and Rock n Roll. Bahkan bagi mereka, kontroversi sepertinya sudah tidak laku lagi untuk mencari popularitas. Penikmat musik rock dan metal sekarang pasti lebih melihat kemampuan bermusik dibandingkan artikel miring di majalah gosip.

Tuesday, May 12, 2009

Emansipasi


Samar-samar saya masih ingat waktu pertama kali melihat seorang wanita menyetir mobil. Pemandangan itu cukup memberi kesan bagi saya. Mungkin anda bertanya, pemandangan gitu aja kok bisa berkesan? Ya karena itu terjadi tiga puluh tahun yang lalu, disebuah kota kabupaten kecil yang jalan rayanya jarang dilalui mobil. Mungkin kalau saya tinggal di kota besar, hal itu tidak akan berkesan sama sekali. Apalagi kalau pada dasawarsa pertama milenium ketiga ini, melihat wanita menyetir pasti tidak aneh lagi. Yang aneh justru kalau mendengar ada wanita yang tidak bisa menyetir. Jangankan Cuma mobil, wanita nyetir bus sampai helicopter dan pesawat terbang juga terlihat biasa saja.

Tidak berselang berapa lama setelah melihat wanita yang menyetir, ada pekerjaan pelebaran jalan raya didepan rumah orang tua saya. Suatu siang, dari teras rumah saya mengamati beberapa orang yang bekerja disana. Mengangkut pasir dan kerikil dan menebarkannya untuk meninggikan permukaan jalan. Kembali saya melihat pemandangan yang berkesan. Beberapa wanita mengangkut ember berisi pasir diatas kepalanya dengan bantuan handuk sebagai penyangga. Disebelahnya, dua orang laki-laki sedang memanaskan drum aspal dengan menggunakan kayu bakar dalam tungku batu bata. Sementara beberapa laki-laki lain juga sibuk mengangkut dan meratakan pasir dan kerikil. Waktu itu saya heran, karena untuk pertama kalinya saya melihal wanita ikut dalam pekerjaan kasar yang biasanya dilakukan laki-laki.

Bulan April lalu, saat radio-radio ibu kota sibuk mendiskusikan emansipasi dalam kaitannya dengan perayaan hari Kartini, kenangan tentang wanita menyetir mobil dan wanita pengangkut pasir itu kembali hadir. Wanita yang nyetir dulu itu jelas-jelas sebuah emansipasi bagi saya. Tapi bagaimana dengan wanita yang bekerja mengangkut pasir di proyek perbaikan jalan? Otak saya menolak membenarkan bahwa ini juga emansipasi. Memang benar bahwa wanita itu mencapai kesetaraan dengan pria lain yang mengangkut pasir dan kerikil. Tapi tetap saja terasa ada yang salah.

Setelah direnungkan di kamar mandi, akhirnya saya mendapatkan pencerahan. Emansipasi (dalam pengertian persamaan kesempatan mendapatkan pekerjaan bagi wanita) seharusnya mengarah ke hal-hal yang sifatnya positif. Dalam artian pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tingkat keahlian tinggi atau tingkat pendidikan tinggi. Karena pada kenyataannya, menurut saya tidak pernah terdapat pembedaan antara wanita dan pria dalam karir. Kalau wanita lebih pintar atau lebih mampu, pasti dia akan memperoleh kesempatannya.


Berdasarkan analisa ini, saya menyimpulkan bahwa ternyata wanita pekerja proyek jalan tadi tidak memiliki keahlian atau pendidikan tinggi. Jadi dia terpaksa terjun ke pekerjaan itu. Jadi masalah utamanya semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, alias kondisi ekonominya lah yang mengharuskan ia bekerja. Ia mungkin tidak pernah memikirkan apa itu emansipasi. Seperti yang saya yakini bahwa wanita-wanita sukses saat ini juga tidak pernah memikirkan arti emansipasi. Karena pada kenyataannya mereka berbuat bukan demi emansipasi tapi demi kemajuan dirinya sendiri. Kalau sudah begini perlukah lagi didiskusikan masalah emansipasi? Saya pikir ini sudah basi. Wanita sudah jauh melampaui arti emansipasi. Jadi tidak perlu lagi lah diangkat-angkat masalah ini. Kalau kesimpulannya sudah begitu, buat apa lagi Menteri Pemberdayaan Perempuan (eh, kabinet pada sekarang menteri ini masih ada gak sih?). Bagi saya kementerian ini benar-benar penghinaan bagi wanita.

Dan lebih jauh lagi, semoga tidak ada lagi wanita yang minta tempat duduk saat di bus kota atau di kereta dengan berbagai alasan, kecuali hamil atau tua. Karena yang namanya persamaan seharusnya memang begitu.

Suap, Budaya Warisan Leluhur


Sebelum penegasan keberadaan bangsa Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, terdapat puluhan bahkan mungkin ratusan kerajaan besar dan kecil yang mendiami wilayah kepulauan Nusantara. Tentu saja dengan budaya yang berbeda-beda. Jangankan untuk kerajaan yang berbeda pulau alias dibatasi oleh laut, untuk kerajaan-kerajaan yang sepulau saja perbedaannya begitu besar. Coba saja kita amati lagi perbedaan budaya antara orang-orang yang sekarang mendiami jawa bagian timur, jawa bagian tengah dan jawa bagian barat. Atau perbedaan antara penduduk sumetera bagian utara, sumatera bagian barat dan sumatera bagian selatan.

Tapi satu hal yang sama di jaman itu dan berlaku untuk seluruh kerajaan di Nusantara bahkan dibelahan bumi yang lain, ialah penghormatan yang sangat besar bagi raja dan keluarganya. Raja dianggap sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi. Dengan demikian segala hak milik individu, bahkan termasuk jiwa dan raga rakyatnya, adalah milik raja. Maka segala yang diucapkan raja adalah perintah yang harus dilaksanakan dan segala yang diinginkannya menjadi kewajiban rakyatnya untuk memenuhi. Tapi alih-alih hal ini menjadi beban bagi rakyatnya, rasa syukur dan bangga tak terkira justru yang terjadi apabila sang rakyat mampu memenuhi keinginan rajanya. Sebuah keluarga akan luar biasa senang apabila seorang anak gadisnya dipilih menjadi selir yang ke empat puluh oleh raja. Bahkan kalau hanya bisa menjadi abdi dalem dengan tugas-tugas membersihkan keratin saja mereka sudah senang setengah mati, meskipun mungkin imbalannya tidak seberapa.

Penghormatan-penghormatan seperti ini juga diberikan kepada semua pejabat kerajaan, mulai dari pejabat tinggi yaitu patih, tumenggung, senopati sampai dengan yang paling rendah setingkat lurah prajurit (mengambil contoh tingkatan pangkat keprajuritan pada jaman Majapahit). Setiap waktu tertentu, biasanya setelah panen dilangsungkan, upeti akan dikirimkan kepada para penguasa wilayah. Tentu saja upetai akan dipersembahkan pula apabila sang penguasa datang berkunjung atau sekedar melintas di sebuah desa. Jangan salah, upeti bukan berarti pajak. Pajak tetap ada dan dipungut oleh penguasa wilayah, sementara upeti lebih merupakan pemberian yang bersifat suka rela.

Setelah republik ini berdiri, apa yang kemudian terjadi dengan budaya upeti? ternyata tumbuh lebih subur lagi. Namanya kini lebih keren (atau malah lebih jorok?) : suap. Budaya ini benar-benar klop dengan sifat rakus para pejabat negara. Mulai dari yang paling tinggi di istana sampai yang paling rendah di kantor kelurahan. Mulai dari ruangan ber-AC sampai jalan raya. Mulai dari departemen sampai ke parlemen. Mulai dari kisaran ribuan perak sampai yang milyaran rupiah. Saking sudah merakyatnya, sampai-sampai ada orang yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang wajar. Yang sering dijadikan contoh pastinya pengurusan KTP. Kalau mau contoh yang rupiahnya lebih besar dikit, kita bisa lihat dijalan raya sewaktu ada yang kena tilang. Kalau mau yang nilainya lebih besar lagi, ya tinggal baca di koran saja.

Kata pakar yang berkecimpung di bidang Risk Management, suap ini agak susah untuk diungkap. Beda dengan korupsi yang jelas buktinya --yaitu besarnya kerugian negara akibat digunakannya uang negara untuk kepentingan Pribadi— suap cenderung tidak memiliki bukti. Apalagi kalau suap kecil-kecil tapi merata seperti yang terjadi pada kantor pelayanan publik. Tentu akan susah untuk diperkarakan lewat jalur hukum. Sebabnya bukan apa-apa sih, cuman uang yang diperlukan untuk menyuap polisi, pengacara, jaksa dan hakim jauh lebih besar, hehehehehehe.

Entah sampai kapan budaya ini akan terus kita wariskan kepada anak cucu, generasi penerus yang katanya akan membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Soalnya kalau dihitung-hitung, sampai sekarang sudah beberapa kali pula saya melakukan tindakan ini dengan kesadaran tinggi. Hanya saja, rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dada. Mudah-mudahan generasi penerus kita tidak akan merasakan ganjalan seperti ini karena mereka akan berani berkata tidak pada suap.

Sunday, May 10, 2009

Kebetulan


Kadang kita berusaha untuk berbuat sesuatu dengan tujuan-tujuan tertentu yang kita yakini akan bisa kita capai. Tapi setelah melalui proses panjang ternyata apa yang terjadi kemudian, apa yang kita rencanakan tidak selalu kita dapatkan. Dan sebagai gantinya kita mendapatkan hasil yang lain, bisa lebih buruk atau malah jauh lebih baik. Hal ini terjadi pada saya kemarin saat harus mengencangkan sebuah mur pada sepeda anak saya. Dan untuk itu membutuhkan sebuah kunci pas yang saya yakin tersimpan di tempat peralatan yang ada di gudang. Setelah bongkar sana sini selama 10 menit, saya belum juga menemukan benda yang saya cari.Sebagai gantinya, saya malah menemukan sekotak paku beton yang minggu sebelumnya saya cari-cari pada saat akan menggantung figura. Kalau sudah begitu, saya sering bingung: harus sedih ataukah gembira. Sedih karena tidak mendapatkan apa yang saya cari atau gembira karena mendapatkan apa yang saya tidak cari.

Ternyata banyak temuan besar yang mengubah peradaban manusia berasal dari kebetulan semacam yang saya alami itu. Nassim Nicholas Taleb dalam Black Swan menunjukkan bahwa ternyata sebagian besar temuan-temuan para ilmuwan yang mengubah dunia adalah sebuah kebetulan. Viagra, sebuah obat yang awalnya dirancang untuk mengobati hipertensi ternyata berakhir sebagai obat yang membuat laki-laki pensiunan lebih percaya diri. Sementara obat hipertensi lain yang sengaja dikembangkan malah berakhir menjadi obat penumbuh rambut.

Charles Twnes selalu digoda teman-temannya saat ia menemukan laser. Kenapa? Karena waktu pertama ditemukan tentu saja ia belum tahu kegunaan laser. Ia hanya ingin bermain-main untuk memuaskan hasratnya menmbelah-belah berkas cahaya. Dia sama sekali tidak memikirkan bahwa suatu saat nanti laser akan digunakan pada bedah mikro, compact disc sampai penyimpanan dan pengambilan data. Begitu pula dengan salah satu temuan terbesar dalam dunia kedokteran. Alexander Fleming sedang membersihkan laboratoriumnya ketika ia menemukan bahwa jamur penicillium telah mencemari salah satu eksperimennya. Jadi secara kebetulan saja ia menemukan sifat-sifat antibakteri pada pinisilin.
Dalam bidang fisika, sangat sering disebutkan bahwa Isaac Newton mendapatkan ide tentang gravitasi karena secara tidak sengaja kejatuhan buah apel saat duduk dibawah pohonnya.

Hal sebaliknya terjadi pada perusahaan penerbangan Amerika Pan Am. Beberapa saat setelah Neil Armstrong melangkahkan kakinya di bulan, Pan Am melalui divisi marketingnya membuka penawaran tiket untuk perjalanan bolak- balik dari bumi ke bulan. Wah, sebuah prediksi yang hebat. Tetapi yang justru terjadi kemudian adalah mereka bangkrut sebelum rute itu terealisasi.
Seorang teman yang berprofesi sebagai pialang paruh waktu pernah berkata bahwa tiga temuan terbesar sepanjang keberadaan umat manusia adalah api, roda dan bank sentral. Saya setuju dengan dua yang pertama, tapi tentu saja lebih memilih teori konspirasi sebagai temuan ketiga. Saya tidak tahu yang memegang hak paten atas api atau roda, apalagi teori konspirasi yang taraf intelektualitasnya sedikit diatas gosip. Tapi setelah direnungkan lagi, saya yakin bahwa ketiga temuan diatas juga merupakan kebetulan belaka.

Jadi kalau anda tidak menemukan yang anda cari dan sebagai gantinya menemukan yang lain, maka sadarlah keberuntungan besar sedang menanti anda. Atau malah sebaliknya, bencana besar akan terjadi pada anda. Ah, sepertinya tidak mungkin, wong namanya juga kebetulan, hehehehehe.

Thursday, May 7, 2009

Lemuria, Atlantis dan Negara Kelima



ES Ito dalam novel pertamanya yang berjudul Negara Kelima, mengangkat mitos tentang Lemuria dan Atlantis yang dihubungankan dengan Alexander The Great dan masyarakat Sumatera Barat. Lumayan juga teori konspirasi yang dimunculkannya. Bahkan mampu menggiring saya pada kesimpulan bahwa hal tersebut sangat mungkin. Tapi setelah direnungkan secara lebih mendalam di kamat mandi, ternyata jawabannya tetap saja tidak mungkin.

Lemuria seperti yang kita ketahui adalah sebuah benua yang diyakini menghilang dari muka bumi karena tenggelam. Benua ini diperkirakan berada di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasific. Atau tepat disebelah selatannya India dan sebelah baratnya Sumatera. Kemungkinan nama Lemuria diambil dari temuan seorang zoologist penganut teori Darwin di akhir abad 19 yang lalu tentang penyebaran binatang mulai dari Pakistan sampai Malaysia. Pada saat itu, khalayak percaya bahwa memang ada benua yang hilang ditelan lautan. Tapi bukti terkini dari para ahli geologi menyatakan bahwa tidak terdapat formasi geologikal yang ditemukan dibawah samudera Hindia atau Pasifik yang berhubungan dengan adanya daratan yang tenggelam. Jadi kesimpulannya, kepercayaan Lemuria sebagai sebuah benua yang pernah ada dipermukaan bumi, lenyap sudah.

Bagaimana dengan Atlantis? Banyak cerita, film fiksi ilmiah sampai film kartun yang mengangkat kisah tentang Atlantis sebagai sebuah peradaban modern di masa lalu yang kemudian tenggelam ke dasar laut. Banyak ahli yang mengajukan alternative posisi Atlantis. Mulai dari sekitar Andalusia, Kreta & Santorini, Denmark, Inggris, Turki, Meksiko, Australia sampai Antartika. Itu mencakup hampir seluruh permukaan bumi.

Lain lagi ES Ito. Dia mencoba mengangkat hipotesis bahwa Atlantis terletak di kepulauan Nusantara. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa Atlantis tenggelam ke dasar laut. Pertanyaannya besarnya tentu saja kenapa atlantis bisa tennggelam? Nah, ini yang menarik. Teori yang dikemukakan adalah karena adanya pemanasan global yang membuat air laut meninggi. Pertanyaan berikutnya, mungkinkah pada sembilan ribu tahun sebelum lahirnya Nabi Isa ada pemanasan global di bumi ini? bukannya waktu itu belum ada industri dan kendaraan bermotor yang menghasilkan efek rumah kaca? Dan ingat, Plato mengatakan bahwa tenggelamnya Atlantis hanya dalam waktu satu hari satu malam, jadi pemanasan global juga terjadi dengan tiba-tiba. Ternyata jawaban yang diajukan sederhana, yaitu tenggelamnya Atlantis bukan karena pemanasan global tapi karena adanya kelusan gunung berapi purba yang sangat dahsyat sehingga permukaan tanah dibeberapa bagian turun dan menjadi laut. Ini dengan mudah dibuktikan dari kenyataan bahwa laut diantara kepulauan Nusantara tergolong dangkal, yang kemungkinan besar berasal dari daratan yang berubah menjadi laut. Tapi gunung apakah kira-kira yang dimaksud? Tak lain adalah gunung Krakatao purba.

ES Ito juga meyakini bahwa Atlantis terletak di benua Lemuria. Jadi hilangnya benua Lemuria dan Atlantis adalah satu kejadian yang sama. Terus apa kaitannya dengan Alexander The Great? Ini satu lagi teori konspirasi yang bagus dari penulis. Pada saat Lemuria dan Atlantis tenggelam, banyak penduduknya yang berhasil menyelamatkan diri ke Asia Minor bahkan sampai ke Yunani. Dan pada saat Alexander berkuasa, terbersitlah keinginannya untuk kembali mengunjungi benua lama tempat kelahiran kakek moyangnnya. Kemudian dari Babilonia dia mengirimkan ekspedisi militer ke timur untuk mencari jejak Atlantis. Dapat diduga bahwa akhirnya ekspedisi itu mendarat di pantai barat Sumatera, kemudian masuk ke pedalaman dan menjadi orang Padang sekarang. Wah, kedengarannya logis sekali.

Tapi kalau kita cermati asal muasal Atlantis, kita akan sampai pada kesimpulan lain. Atlantis pertama kali dipopulerkan oleh Plato dalam bukunya Timaeus dan Critias, yang ditulis pada tahun 360 SM. Disitu ditulis bahwa Critias menceritakan kepada Hermocrates, Socrates dan Timaeus mengenai peradaban dan tata masyarakat sempurna yang bernama Atlantis. Critias menyatakan bahwa dia mendengar kisah tersebut dari Solon, seorang penyair Yunani yang pernah berkunjung ke Mesir. Solon bercerita bahwa 9000 tahun sebelum kelahirannya, pernah hidup bangsa besar dengan peradaban yang maju. Terbentang dalam satu arah tiga ribu stadia, tetapi di tengah sekitar dua ribu stadia, dan kebanyakan terdiri dari pegunungan. Mereka membangun kanal-kanal besar menuju ke laut. Tetapi kemudian terjadi perang besar dan gempa bumi dan banjir besar yang menyebabkan seluruh Atlantis tenggelam dalam satu hari satu malam.


Jadi menurut saya, Atlantis adalah mitos yang dibuat Plato untuk mengilustrasikan teori politiknya tentang masyarakat yang beradab yang akhirnya hancur.

Wednesday, May 6, 2009

Kucing, Binatang Tak Berguna?


Pada pagi hari, kepala saya selalu dipenuhi dengan rencana untuk mengerjakan hal-hal besar sepanjang hari itu. Mulai dari waktu yang harus dialokasikan untuk membaca novel, merencanakan menu makan siang lengkap dengan perkiraan harganya, sampai renacana untuk cek situs toko buku online untuk mengetahui buku baru apa saja yang terbit. Hehehe, begitulah. Saya tidak pernah dan tidak akan pernah mikirin kerjaan di rumah. Rugi amat, kita kan dibayar untuk bekerja. Dan menurut pengertian umum, bekerja berarti sama dengan hadir di tempat kerja, meskipun tidak melakukan apa-apa. Huahahahaha…. Mungkin “ngantor” adalah istilah yang paling tepat untuk para pengangguran tak kentara ini.

Nah, pada suatu pagi yang normal seperti biasanya, firasat saya mengatakan bahwa hari itu akan berlalu dengan menyenangkan. Tetapi, tiba-tiba semuanya runtuh, buyar, hancur tak berbekas saat saya membuka pintu depan pas mau berangkat ke kantor. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan adalah onggokan jorok dengan bau menyengat yang khas yang langsung membuat kepala pusing dan perut mual. Tau onggokan apa itu? jawabnya tai kucing…sekali lagi, tai kucing. Inilah hal nomor 2 yang paling saya benci di galaksi Bimasakti ini. Yang saya benci nomor 1 tentu saja pajak, hehehehe. Lebih menjengkelkan lagi, sampai sore hari waktu saya pulang kerja pun baunya masih ada, meskipun segala daya upaya sudah dikerahkan untuk membersihkannya.

Seharusnya kucing itu pup di teras rumah tuannya yang kebetulan tetangga sebelah rumah. Tapi mungkin dia sudah tidak kebagian tempat lagi, soalnya saya denger tetangga itu punya enam kucing. Jadi karuan aja, setiap pagi dia pasti antre dan berebut teras dengan teman-temannya sesame kucing. Jadilah dia pinjam teras sebelahnya untuk acara hajatan itu. Tidak sopan benar dia.

Yang lebih edan lagi adalah sewaktu datang musim kawin kucing. Malam-malam terdengar si betina mengeluarkan suara erangan yang terdengar bagai raungan yang mengiris dan menyayat telinga untuk menarik sang jantan. Tapi malang bagi si betina itu, bukannya pejantan tangguh gagah perkasa yang datang tapi gagang sapu yang dilempar Bu De depan rumah. Kontan aja, suara erangan berubah menjadi suara kesakitan.

Sepertinya kucing-kucing itu pada kawin diatas genteng. Ini saya ketahui bukan karena pernah mengintip, tapi karena asal suara-suara rame dari atas genteng dan beberapa genteng pada bergeser dari tempatnya semula. Tapi jangan mengira kalau suara yang terdengar adalah oh yes, oh no atau oh god, ya soalnya kaau yang itu harus di sensor,hehehehehe. Tapi kembali ke soal kucing kawin, ini bikin saya tambah pusing lagi. Soalnya nggak lama lagi si betina pasti bunting terus beranak. Dan sekali beranak langsung mrotol enam ekor. Busyet. Berarti tahun depan jumlah kucing tetangga ini ada berapa yah? Bisa dibayangkan, setiap pagi di setiap teras rumah pasti akan ditemukan tai kucing. Parahnya lagi, bisa-bisa bau tai kucing mencapai radius 1 km kesegala arah.

Saya sering heran melihat orang yang memelihara kucing. Kok bisa ya. Soalnya menurut saya kucing itu binatang yang paling tidak berguna. Coba lihat anjing, dia bisa menjaga rumah, mengusir orang yang bermaksud mencuri atau bisa menemani tuannya jogging di pagi hari. Lain lagi kalau burung, suara kicaunya pasti merdu di telinga. Tapi kalau kucing gunanya apa coba? Kerjanya tiap hari malas-malasan di sofa atau tempat tidur. Makannya harus ikan tanpa tulang, soalnya kalau ada tulangnya pasti tidak akan dimakan. Terus dia selalu ingin dielus-elus alias diberi kasih sayang. Disuruh memburu tikus? Bah mana mungkin kucing jaman sekarang berani sama tikus yang segede-gede preman itu. Yang ada malah kucingnya yang lari ngibrit karena takut. Jadi kesimpulan saya, hanya orang-orang yang kesepian dan tidak bisa mengungkapkan kasih sayang saja yang memelihara kucing.

So, apa solusi terhadap masalah tai kucing tadi? Setelah memutar otak sampai panas, akhirnya saya memutuskan untuk melaporkannya ke RT. Dan langkah saya benar, akhirnya RT menegur tetangga itu. Tak lama kemudian raungan kucing mulai jarang terdengar. Bahkan sekarang bisa dibilang tidak ada lagi. Dan pasti tidak pernah lagi ada kejadian kaget karena onggokan tai kucing di teras.

Goodbye kucing.

Tuesday, May 5, 2009

Enakan Jadi Karyawan atau Tukang Mie Ayam?


Rutinitas pagi saya di hari kerja sebagai seorang karyawan swasta, adalah bangun di pagi buta. Menghabiskan sekitar 10 menit di kamar mandi, yang dilanjutkan dengan memakai segala perlengkapan ke kantor. Mulai dari yang paling umum yaitu baju celana kaos kaki dan sepatu, sampai arloji dan parfum agar terlihat lebih keren dan berkelas. Perjalanan ke kantor kadang memakai mobil, tapi lebih sering menggunakan kopaja. Tahu sendiri kan seperti apa kondisi didalam kopaja. Panas dan berjejal ditambah bercampur aduknya segala aroma. Kalau sudah begini, saya sering merasa menyesal menyemprotkan parfum ke baju. Soalnya tidak ada gunanya karena kalah dengan aroma yang lain, hehehehe.

Begitu sampai kantor, tempat pertama yang dituju adalah deretan gerobak tenda yang menyediakan makanan khas sarapan orang kantoran. Mulai dari ujung timur berderet-deret ada mie ayam, bubur ayam, ketoprak, kacang hijau sampai gorengan dan buah segar. Untuk memudahkan biasanya saya buat bergilir. Hari senin saya mulai dari ujung yang sebelah barat sehingga tepat hari jumat saya selalu sarapan mie ayam. Penjual mie ayam ini sudah hapal selera saya. Mie tanpa saos dan kecap manis, hanya sambal.

Suatu ketika pada hari jumat yang cerah, saya mendapati penjual mie ayam belum siap dengan dagangannya. Saya temukan dia sedang menurunkan sekeranjang mie beserta sawi segar dari bagian belakang mobil kijang merahnya. Wah, hebat. Penjual mie ayam punya mobil. Tapi setelah dipikir lagi kenapa tidak. Itu hal yang sangat mungkin. Langsung saja otak saya membuat perhitungan sederhana. Harga 1 mangkuk mie ayam Rp. 6000,-. Kalau dalam sehari rata-rata dia berhasil menjual 70 mangkuk seperti yang dia katakan, maka pendapatannya adalah Rp. 420.000,-. Ini sangat mungkin soalnya ada beberapa gedung perkantoran disekitar tempatnya berjualan. Dan kalau memang benar kata orang bahwa keuntungan usaha makanan adalah 100%, maka Rp. 200.000,- sudah masuk kekantongnya sebagai keuntungan bersih. Kalau dikalikan dengan 22 hari kerja dalam sebulan, maka keuntungan bersih sebulannya adalah Rp. 4.400.000,-. Kalau melihat statistik tentang gaji yang sering dikeluarkan majalah Swa, penghasilan pedagang mie ayam ini jauh lebih besar dari pada gaji seorang sarjana fresh graduate yang baru bekerja.

Hebatnya lagi, jam kerja pedagang mie kurang lebih hanya 4 jam, yaitu dari jam 6 sampai 10 pagi. Ditambah 2 jam di sore hari untuk membeli bahan dan menyiapkan sambal. Coba bandingkan dengan jam kerja fresh graduate tadi yang katanya 8 jam sehari tapi pada kenyataanya bisa sampai 11-12 jam karena harus terlihat memiliki integritas didepan boss-nya. Dan, dia tidak perlu mengeluarkan sebagian pendapatannya untuk membeli baju dan celana kerja yang bagus di dept store seperti yang dilakukan seorang karyawan saat ada diskon besar-besaran di akhir tahun. Baju yang digunakan cukup baju koas gratis hadiah dari perusahaan saos atau kecap atau penyedap rasa. Beli parfum, tentu saja tidak pernah terlintas dipikirannya. Tak heran kalau seorang tukang bakso yang masih satu kelurahan dengan saya bisa membeli sebuah rumah dengan harga hampir 1 milyar. Bagaimana tidak, dengan penghasilan yang lumayan dan gaya hidup seadanya, pastilah dia bisa membelinya. Yang dia perlu lakukan adalah menabung.

Terus, pertanyaannya mending jadi penjual mie ayam atau karyawan? Nah kalau ini mending direnungkan masing-masing saja. Soalnya jawabnya bakalan beda-beda, apalagi kalau yang jawab orangnya pinter, wah pasti jawabannya bakalan mbulet dan bikin bingung orang lain, hehehehehehe.

Monday, May 4, 2009

Petani Kopi Sumatera Vs Starbucks


Siapa yang tidak tahu Starbucks? Tidak ada seorang pun yang mau mengakui kalau dia tidak tahu Starbucks. Minimal pura-pura tahu lah. Karena kalau ngaku tidak tahu pasti akan dianggap nggak gaul, kuper, ndeso, katrok dan sebangsanya. Pertanyaan berikutnya, apakah pernah membeli kopi di Starbucks? Kalau jawaban anda tidak pernah, jangan terus menutup tulisan ini yah. Soalnya menurut Tantowi Yahya, membaca itu bisa menambah pengetahuan. Tapi kalau yang dibaca hasil perenungan macam begini, menambah pengetahuan juga nggak yah?. Untuk menjawabnya, coba saja baca terus sampai habis, hehehehehe….

Nah, ini pertanyaan khusus untuk anda yang pernah membeli kopi di Starbucks “pernahkah anda merenungkan seperti apa proses pembuatan kopi Starbucks itu, mulai dari penanaman pohon kopi, pemetikan biji kopi, roasted sampai blended?”. Nah, ini yang seru. Setahu saya, Amerika Serikat yang merupakan negara tempat lahirnya Starbucks, tidak mempunyai kebun kopi semeter pun. So, darimana datangnya biji kopi Starbucks yang kata orang aroma dan rasanya mantap itu? Ya, tentu saja dari negara-negara perkebunan kopi yang tersebar mulai dari Amerika Selatan, Afrika, Arab, Asia sampai Oceania. Dan tidak salah lagi, Indonesia termasuk salah satu supplier terbesar yang memasok biji kopi untuk Starbucks. Starbucks memang membeli kopi dari petani di Sumatera dan Nusa Tenggara Timur. Apakah Starbuck membeli secara langsung atau memakai perantara, saya tidak tahu. Apakah membeli dengan harga tinggi atau harga rendah, kalau itu sudah pasti jawabannya, mengingat yang namanya petani dari dulu sampai sekarang tetap saja orang susah.

Coba diingat kembali, berapa harga satu cangkir kopi di Starbucks? Kata orang amerika sih cuman dua dollar. Tapi di Indonesia rata-rata harganya antara dua puluh dua ribu sampai dua puluh tujuh ribuan plus PPN 10%. Apa yang kita dapatkan dengan harga kopi selangit itu? Kalau yang jawab orang marketing, maka jawabannya pasti experience. Katanya kita tidak hanya membeli produk, tetapi membeli pengalaman minum kopi di kedai modern yang dilengkapi wi-fi. Orang-orang yang duduk disana terlihat cosmo abis dengan laptop terbuka disamping cangkir kopinya, disebelahnya tentu saja ipod yang earphone-nya menyumpal kuping. Bukankah anda juga ingin sekali ada disana?. Kalau yang ditanya adalah seorang Barista-nya Starbucks, dia akan bilang kalau Starbucks itu memiliki cita rasa kopi nomor satu, yang dihasilkan dari proses blended yang telah terbukti disukai banyak orang dari semua ras manusia, baik itu bule, negro, latin, melayu sampai chinesse. Biar dia berkulit putih, merah, hitam, kuning, sawo matang, pokoknya semua mengatakan enak.

So, seperti apa kedai kopi umumnya di Indonesia. Pasti yang terbanyang adalah gubuk bambu dengan dinding dari gedek dan atap seng. Tempat duduknya adalah kursi panjang yang bisa diduduki empat sampai lima orang. Dan kopinya, pasti cuman ada kopi tubruk hitam yang disajikan dalam gelas tinggi tebal yang ada pegangannya. Rasa kopinya ada dua, terlalu manis atau kurang gula. Rasa ini terlalu dipengaruhi oleh kondisi psikologis penjualnya. Kalau dia sedang gembira, maka rasa kopinya akan manis, tapi kalalu dia lagi sewot maka bisa dipastikan rasa kopinya bakalan amburadul.

Pertanyaan utamanya sekarang adalah tidakkah ada manusia Indonesia yang katanya jenius-jenius itu mampu melakukan sesuatu seperti Howard Schultz? Sekarang sudah banyak muncul kedai kopi lokal tapi memang belum ada yang bisa setenar Starbucks. Mudah-mudahan tiga atau lima tahun mendatang kedai-kedai kopi lokal ini sanggup sejajar dengan Starbuck. Tapi yang paling penting adalah semoga peningkatan industri perkedaian kopi mampu meningkatkan kesejahteraan petani kopi. Meskipun Starbucks mengklaim bahwa mereka telah menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk memberikan beasiswa bagi petani kopi di Sumatera, di negeri ini tetap saja petani selalu menjadi objek penderita.

Terakhir, memang harus kita akui bahwa orang bule itu ternyata lebih pintar cari duit dibanding orang Indonesia. Setuju?

Sunday, May 3, 2009

Clive Cussler’s Dirk Pitt, Batu Mulia dan Kakek


Dirk Pitt -seorang agen ala James Bond yang menjadi tokoh utama novel – novel karya Clive Cussler- dalam salah satu petualangan heroiknya harus berjuang keras untuk menghancurkan pengusaha berlian asal australia yang ingin membuat kacau balau pasar batu permata dan khususnya menjatuhkan De Beers yang merupakan pesaing utamanya. Yang membuat Dirk Pitt terlibat dalam kasus ini adalah karena adanya kematian masal pada manusia dan hewan-hewan yang ada disekitar pacific sampai antartik. Penyelidikan yang dilakukannya membawanya pada temuan bahwa penyebab semua kematian itu tak lain adalah proses penambangan permata yang dilakukan oleh pengusahan tadi.

Apa yang menarik dari cerita imajinasi Clive Cussler itu adalah betapa mahalnya harga sebuah batu berlian. Kalau mau dipandang enteng dan dipikir secara sederhana, hal ini sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sebongkah batu bisa berharga jutaan bahkan milyaran dollar. Terlepas dari proses pencariannya yang memakan biaya besar karena menggunakan teknologi mutakhir ataupun proses pemotongannya yang menggunakan laser, saya kira persediaan permata mentah didalam tanah pasti berlimpah. Coba hitung banyaknya gunung berapi di bumi yang menjadi tempat terbentuknya batu bakal berlian itu, maka manusia tidak akan pernah kekurangan pasokan. Cuman memang De Beers beserta kartelnya yang membuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah berlian itu sesuai yang langka dan sangat bernilai bagi manusia.

Herannya teori batu itu mahal sepertinya juga berlaku untuk almarhum kakek saya. Memang benar, beliau semasa hidupnya dulu sangat mengagumi bahkan cenderung mencintai batu. Bagaimana tidak, setiap kali melihat batu mengkilap langsung akan dipungut terus dibawa pulang. Ini sering kali terjadi pada waktu dia sedang menjala ikan di pinggiran laut selatan dekat rumah. Disela-sela mengamati ombak, mata rabunnya pasti sempat memperhatikan pasit tempatnya berpijak. Tak lama kemudian sebongkah batu sudah ada digenggamannya, diangkat tinggi-tinggi ke langit sambil kepalanya mendongak mengamati guratan dipermukaannya. Siang harinya kegiatan ini berlanjut, tapi tidak cuma sebatas mengamati saja. Sebuah botol bir besar bekas, cawan kecil berisi air bersih dan kain lap bersih telah menemaninya. Dengan posisi duduk bersila tegak mirip penganut yoga, kakek mulai menggosokan batu temuannya dengan dinding botol bir dan sesekali dilap dan dicelupkan kedalam air untuk membersihkannya. Biasanya, dengan wajah serius kakek akan menerangkan perihal batu-batu itu. Yang ini namanya batu anu, gunanya untuk membuat pemiliknya menjadi begitu. Yang itu namanya batu anu, akan membuat pemiliknya menjadi begini. Tak heran jika warisan paling berharga untuk cucu-cucunya adalah deretan batu mentah, setengah jadi, bahkan ada yang sudah jadi cincin. Tentu saja cucu-cucunya senang menerimanya, tapi suka risih kalau memakainya.

Pernah suatu kali adiknya saya pulang dari Italia dan membawakan Kakek oleh-oleh yang membuatnya sangat gembira. Oleh-oleh itu tak lain dan tak bukan adalah batu. Berbagai bentuk, berbagai warna, berbagai tekstur dan berbagai ukuran. Saya tanya adik saya dimana dia dapatkan batu-batu itu, katanya dari orang gypsi yang jualan di pinggir jalan dekat pelabuhan. Harga satu batu mulai dari dua dollar sampai 10 dollar. Saya tidak bisa menahan tawa. Gak apa-apalah yang penting yang dikasi senang.

Setelah saya ingat-ingat, tidak pernah sekalipun kakek menerangkan bahwa ada batu dengan harga yang begitu mahal yang bernama berlian. Atau mungkin dia tidak tertarik dengan batu yang satu ini. Tapi setelah dipikir lagi, jelas bukan karena harganya yang mahal yang membuat kakek tidak tertarik. Menurut saya hal ini lebih dikarenakan perbedaan dalam memberikan penilaian terhadap berharganya sesuatu batu. Dan saya yakin kakek tidak akan merasakan getaran apa-apa jika belaiau menggenggam berlian, meskipun dengan duduk bersila disertai pemusatan pikiran dan ucapan mantra-mantra. Karena memang berlian dibuat untuk memuaskan kebutuhan jasmani manusia jaman sekarang. Alias menjadi lambang gengsi bagi kaum berduit saat ini. Sedangkan bagi kakek, batu bermakna jauh lebih dalam. Menjadi pelengkap kebutuhan rohaninya dan memberikan ketentraman saat memakainya. Hmmm, bagaimana kira-kira kondisinya saat cucu saya nanti dewasa ya.

Thursday, April 30, 2009

Sarapan di Pinggir Jalan


Jangan mengira ini adalah ulasan tentang warung-warung lesehan atau gerobak bubur ayam yang tersebar dijalan-jalan kecil yang mengelilingi gedung-gedung perkantoran yang mencakar langit berpolusi Jakarta. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan ulasan Pak Bondan tentang tempat-tempat makan uenak yang katanya mak nyuusss tenan itu.

Pagi tadi saat melintas di Sudirman dari arah Semanggi menuju Thamrin, tepat di halte seberang Gedung Sampoerna saya melihat seorang ayah dengan penuh kasih sayang dan kesabaran sedang menyuapi anaknya yang kira-kira baru berumur satu setengah tahun. Si anak sedang asik bermain di bangku panjang halte sambil mulut kecilnya terus mengunyah makanan yang diberi sang ayah. Kalau melihat dari tempat makanan kotak semacam tupperware merah muda dan sendok kecil yang digunakan, saya kira sarapan si anak adalah bubur ayam. Saya tidak tahu dimana mereka tinggal. Yang jelas pasti dekat-dekat situ. Dan saya yakin sekali mereka bukan anak jalanan, melihat dari pakaian mereka yang bersih dan tidak ada tanda-tanda geronak atau karung besar tepat barang bekas disekitarnya.

Satu hal yang menarik adalah, kasih sayang sang ayah sangat bertolak belakang dengan tempat pengungkapannya. Kalau tidak mau dibilang bahwa sang ayah mungkin sedang mencelekai anaknya. Bagaimana tidak, jalan Sudirman pada pagi hari penuh dipadati kendaraan yang lewat. Mulai dari motor, mobil, metromini, kopaja, bus kota sampay bus transjakarta. Bisa dibayangkan bagaimana kotornya udara dipinggiran jalan itu. Dan kalau mau membayangkan lebih jauh, bagaimana akibat udara kotor ini untuk anak usia satu setengah tahun. Mungkin dampaknya tidak langsung kelihatan. Mungkin sepuluh atau dua puluh tahun lagi baru muncul gejala penyakitnya. Mungkin juga lima puluh tahun lagi. Atau malah tidak muncul penyakit sama sekali alias si anak kecil akan terus hidup sampai sembilan puluh delapan setengah tahun lagi. Menggenapkan umurnya menjadi seratus tahun yang sekarang ini hampir mustahil dijangkau oleh orang kebanyakan.

Sempat juga terpikir, kok bisa ya ada ayah seguoblok itu ngajak anaknya makan pagi dipinggir jalan dengan tingkat polusi yang mencekek leher begitu. Tapi saat mulai menyelami gaya berpikir seorang ayah, ternyata si ayah itu memang bertujuan baik. Dia ingin agar anaknya mau makan dan kalau bisa makannya banyak. Landasan berpikir ini sederhana saja. Umumnya anak-anak agak susah makan. Kalaupun dipaksa, makannya tidak lebih dari tiga suap. Nah, sepertinya si ayah ini menyiasati kondisi itu dengan mengajak anaknya makan ditempat yang si anak suka. Cuman sayangnya tempat itu kebetulan adalah halte.

Nah kalau sudah begitu, berarti permasalahannya bukan lagi soal makan di pinggir jalan. Tapi lebih cenderung pada tidak adanya disiplin dari si ayah. Sang ayah harus mengarahkan anaknya kalau perlu melarang keras anaknya untuk bermain di halte lagi, bukannya malah menuruti kemauan anaknya dengan alas an agar si anak mau makan banyak. Percuma juga si anak makan banyak kalau dua tahun lagi dia jadi terkena kanker karena terlalu sering menghirup udara berpolusi.

Tapi ngemeng-ngemeng, memang sudah hidup di Jakarta. Dan ternyata lebhi susah menjadi ayah yang benar. Dan kalau kebetulan anda seorang ayah yang hidup diJakarta, maka pesan saya cuma satu: Berusahalah………

Wednesday, April 29, 2009

Kartini, Konde dan Konspirasi


Hari Kartini datang lagi. Di beberapa radio ibukota yang sempat saya dengar sewaktu mengendara mobil, hari lahir pahlawan wanita itu diulas begitu heboh. Mulai dari busana tradisional jawa sampai prestasi yang telah dicapai wanita Indonesia saat ini. Wah hebat lah pokoknya, ada yang jadi pilot helicopter tempur, ada juga yang udah jadi kapolda (kalo gak salah denger ya), sampai supir bus.

Tapi, kembali ke busana tradisional, yang ini bikin saya rada miris. Bukan apa-apa, tapi “budaya” yang mengaitkan bahwa hari Kartini sama dengan waktu untuk memakai konde, kebaya dan kemben menurut saya salah besar. Mana mungkin masuk akal jika saat peringatan hari emansipasi tiba-tiba wanita kembali memakai busana tradisional jawa yang notabene mencerminkan kungkungan masyarakat tradisional terhadap tingkah laku perempuan. Pada tahun – tahun yang telah lewat, bahkan anak sekolah diwajibkan untuk mengenakan busana tradisional pada hari Kartini. Apa korelasi hari Kartini terhadap penggunaan busana tradisional? Jelas tidak ada. Bahkan kalau mungkin saat ini Kartini kita Tanya apakah dia suka mengenakan busana tradisional, kemungkinan besar jawabannya tidak. Karena dengan gaya pemikirannya yang katanya maju itu, kemungkinan besar dia akan memilih celana panjang dan blazer hitam seperti yang biasa dipakai prefosional wanita di kantoran.

Kalau kita buat pengamatan lebih jauh lagi, hari Kartini mungkin tidak akan ada bahkan pemikiran Kartini kemungkinan tidak akan pernah diketahui publik apabila
J.H. Abendanon tidak mengumpulkan dan menerbitkan surat-surat Kartini kepada teman-temannya di Eropa sana. Just info, Menir Abendanon ini adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda pada waktu itu. Nah, sudah keliatan kan teori konspirasi dibelakangnya. Kenapa pemerintah Belanda yang adalah penjajah Indonesia sampai mau menerbitkan surat-surat itu dalam satu buku, padahal mereka waktu itu sangat mengekang kemajuan berpikir rakyat jajahannya. Sepertinya Belanda punya agenda tersembunyi untuk hal ini. Tapi sayangnya sejak saya SD sampai SMA tidak pernah sekalipun guru sejarah saya mengajak anak didiknya untuk berpikir kearah sana. Yang penting hafal tanggal dan peristiwanya saja. Itu sudah cukup untuk dapat nilai 8 di raport.

Kembali lagi ke pemikiran Kartini yang diterbitkan menteri Belanda itu, saya sering bertanya dalah hati apa iya pemikiran Kartini murni seperti itu tanpa ditambah-tambahi oleh editornya alias Menir Londo itu. Kalau percetakan sih rasanya tidak mungkin menambahi, karena hal sesuai aturan baku yang ada bahwa isi diluar tanggung jawab percetakan. Kenapa saya berpikir begitu, karena saya melihat dari sejarah juga, bahwa ternyata Kartini menikah atau tepatnya dinikahkan di usia 23 tahun, setelah sebelumnya dia dipingit sejak usia 12 tahun. Kartini selama kurang lebih setahun menjadi istri keempat Bupati Rembang sebelum akhirnya meninggal di usia 25 tahun karena melahirkan anaknya. Nah inilah yang mengganggu saya, bagaimana bisa orang dengan pemikiran maju seperti itu tunduk atau ditundukkan oleh sistem dan norma-norma yang berlaku. Dan sepertinya dia tidak berbuat apa-apa untuk melawannya, selain hanya menulis surat. Apakah tidak ada perlawanan dari Kartini, apakah dia tidak protes dan mengeraskan hatinya untuk mengikuti kemauannya, inilah yang kita tidak pernah tau.

Tapi satu prestasi tetap dia ukir, yaitu pada waktu menjadi istri bupati Rembang dan sebelum wafatnya dia telah mendirikan sebuah sekolah untuk para remaja putrid. Tidak jelas apakah hanya putri bangsawan yang boleh sekolah disana atau rakyat jelata juga diperbolehkan. Yang jelas, sebuah sekolah wanita telah berdiri, sebuah norma tradisional telah runtuh.
Selamat Hari Kartini